Upaya Memercayai Laki-laki
“This is me trying to trust you.”
Aku menulis kalimat itu dalam sebuah surat yang kukirimkan pada seorang kawan laki-laki. Pernah ada masanya aku sangat skeptis terhadap ucapan laki-laki. Aku juga sebenarnya masih merasa tidak sepenuhnya aman dengan laki-laki — sekalipun mereka yang menyayangiku.
Akhir pekan kemarin, aku duduk di kursi belakang mobil ketika ayahku menyetir. Ibu duduk di sampingnya. Bertahun-tahun menjadi anaknya, aku tetap tidak terbiasa dengan hal-hal yang dilakukannya saat menyetir. Klakson panjang yang menurutku tak perlu, menggerutu dengan kalimat yang menurutku kurang pantas, dan tiba-tiba menginjak gas untuk menyalip. Aku tidak suka ketika ayahku menyetir. Ia mengingatkanku pada masa ketika aku juga suka duduk di kursi belakang mobil mantan kekasih dari sahabatku. Cukup sering aku melihat caranya menggenggam setir dengan lebih kencang ketika ia dan sahabatku mulai debat kusir tentang “Mau makan di mana?” dan “Terserah”. Ada kekhawatiran yang mendesir di dalam diriku. Apa yang bisa laki-laki ini lakukan jika saja aku tidak ada di mobil ini? Mungkinkah cengkeraman tangannya pada roda setir itu berpindah ke leher sahabatku? Kemudian aku teringat salah satu adegan dalam film “Posesif”. Seluruh tubuhku bergetar selepas menonton film itu. Aku jalan dari bioskop hingga parkiran mobil sembari digandeng seorang kawan laki-laki. Malam itu kuceritakan banyak hal padanya dan aku jadi tahu aku bisa merasa lebih aman dengannya dibanding laki-laki lain.
Minggu lalu, aku menonton serial ‘Adolescence’. Rekan-rekan di kantorku sudah membicarakan keajaibannya. Isi update-an Instagram Story orang-orang yang kuikuti pun juga sudah mulai membicarakannya. Dua hari setelah serial itu rilis, aku mulai menonton. Dua episode pada malam pertama dan dua episode terakhir pada pagi di keesokan harinya. Terlepas dari gubahan teknisnya yang mencengangkan, cerita yang diangkat pada serial itu tak kalah mencengangkan. Aku serasa diajak masuk ke dalam ceritanya sebagai pengamat — yang juga dibuat helpless. Menyaksikan serial ini membuatku teringat dengan kalimat “Don’t protect your daughter. Teach your son.” yang sering berseliweran ketika lagi-lagi laki-laki berulah. Mungkin ada alasan tersendiri kenapa tidak semua suami istri dikaruniai anak laki-laki. Bisa jadi Tuhan khawatir apabila bagian yang kurang pantas dari sang calon ayah itu akan turun ke anak laki-laki mereka. Bisa jadi pula Tuhan kurang percaya kalau para calon ayah itu bisa dengan baik mendidik anak laki-laki mereka.
Sore tadi, salah satu keponakanku yang laki-laki menangis dengan lantang. Gawainya diambil sehingga ia tidak bisa bermain Roblox. Ketika sekeluarga setengah menyerah menenangkannya, gawainya dikembalikan. Ia bermain Roblox di ruang tamu. Para kakak-kakak sepupu laki-laki duduk melingkar di teras samping ruang makan sambil menyeruput kopi dan mengisap batang rokok. Aku dan para kakak-kakak sepupu perempuan lainnya berbincang di sekeliling meja makan tentang berbagai macam usaha. Mulai dari usaha menurunkan berat badan, usaha mencari pasangan, hingga usaha menambah keturunan. Keponakanku yang tadi tiba-tiba menghampiri kami di meja makan.
“Ngent0t artinya apa, Ma?”
Semua keceriwisan kami terhenti dan semua wajah menjadi kencang. Aku berhenti scrolling hape dan menyaksikan adegan ini dengan seksama. Para kakak sepupu perempuan bersautan mengucap istigfar. Sang Mama menaikkan intonasinya, bertanya darimana anaknya membaca kata itu. Aku memerhatikan betapa setiap perempuan di ruangan itu berusaha melarangnya untuk mengucapkan kata tersebut tanpa memberikan penjelasan yang memuaskan rasa ingin tahu seorang anak kecil. Dugaan salah satu kakak sepupuku, bisa jadi keponakan kami membaca kata itu di game online. Mungkin ada orang lain yang mengatakannya di room chat untuk mengutarakan kekesalannya. Mungkin… Bisa jadi juga iklan-iklan yang tidak sengaja terpencet oleh jari mungilnya. Di satu sisi aku merasa lega karena sebenarnya keponakanku berarti bisa merasa cukup aman untuk bertanya hal apapun pada Mama-nya, tapi perasaanku tetap janggal. Kenapa ia tidak menghampiri Bapak-nya untuk bertanya hal tersebut? Kemudian aku melirik teras samping ruang makan di mana para kakak-kakak sepupuku yang laki-laki masih cewakwakan sambil mengembuskan asap dari bibir mereka.
Baru dua tahun yang lalu aku mengetahui istilah ‘incel’. Setelah terekspos dengan istilah itu, aku masuk ke lubang pencarian yang cukup mendalam tentang mereka. Hal-hal yang mereka percayai, kasus-kasus nyata yang terjadi, hingga secara acak bertanya pada kawan-kawan di sekitarku: “Lo tau incel gak?”. Dari hasil risetku yang sebentar tapi mendalam itu, aku jadi menduga-duga tentang betapa sedihnya untuk hidup tanpa dikelilingi rasa kasih sayang yang cukup (baik dari orang tua ataupun teman) sampai-sampai harus membenci dan mencelakai orang lain untuk bisa merasa lebih baik. Terlebih pada laki-laki. Sepenglihatanku, cara laki-laki merayakan kasih sayang tidak sebrutal perempuan. Aku memercayai penuh sebuah kalimat dari buku memoir Dolly Alderton. Kalimat itu berbunyi: Nearly everything I know about love, I’ve learnt from my long-term friendships with women. Hingga hari ini, aku belum menemukan kalimat sepadan yang rasanya mendekati untuk mendeskripsikan keutuhrasaan pertemanan sesama laki-laki. Dan kuharap ke depannya mereka juga bisa merasakan kasih sayang itu dari sesama mereka, sebagaimana aku merasakan hal tersebut dari sesama teman-teman perempuan.
Paragraf terakhir ini kudedikasikan khusus untuk kawan-kawanku yang laki-laki. Ketika mungkin ada lebih banyak alasan untuk aku tidak lagi memercayai laki-laki, mereka hadir dan membawa rasa aman. Mulai dari meminta ojolnya untuk menunggu sebentar hingga ojolku tiba, pesan-pesan “Sudah sampai rumah?” setelah kami pergi bersama, hingga mengambil sisi terluar jalan ketika kami jalan di trotoar atau hendak menyebrang. Sebetulnya masih ada banyak perlakuan baik yang kudapatkan dari mereka. Perlakuan mereka lah yang membuatku ingin tetap terus berupaya untuk bisa memercayai laki-laki. Aku salah satu perempuan yang cukup beruntung karena dikelilingi kerabat laki-laki yang bisa membuatku merasa aman. Kuharap ada masa depan yang lebih hangat untuk para kita semua. Semoga ada kasih sayang yang membentuk mereka jadi sosok-sosok yang memang pantas untuk dipercaya. Aku masih ingin percaya kalau semua laki-laki itu tidak sama. Aku ingin meyakini kalaupun mereka sama, maka serupalah mereka dalam saling menyayangi, saling peduli, dan saling menghargai. Aku masih mau membutuhkan mereka.