seingatku yang kupesan adalah teh tawar.
namun seiring kata dan pengakuan kecil-kecilan itu,
aku seperti merasakan butiran gula di dalam mulutku
sembari masih mendengarkan ceritamu naik kereta:
di pasar minggu baru, tersenggol ibu-ibu, dan terselengkat sepatu
aku makin merasakan butiran gula di atas lidahku
kutengok dasar gelas tehku itu dan tidak kutemukan
butiran gula yang melebur di bawah sana
kau menangkapku yang kebingungan. kukatakan
“tadi aku pesennya teh tawar ‘kan?”
kau mengangguk. lalu memanggil mas-mas mi ayam
dan bertanya, “mas, tadi yang ini teh tawar ‘kan ya?”
ia mengangguk. kau menatapku.
aku mengangguk, lalu menenggak lagi.
butiran gula itu kembali melapisi lidahku
dan kau bertanya lebih lanjut, “manis ya?”
kau memerhatikanku penuh kekhawatiran
seakan-akan yang kutenggak barusan adalah air kobokan.
tatapanmu membuat butiran gula di lidahku menebal.
kuingatkan lagi diriku kalau ini adalah teh tawar dan
rasa manis ini mungkin hanya perasaanku saja.
mataku kembali melihat matamu yang begitu sopan
kau kembali bertanya, “kemanisan?”
aku mengangguk.