Aku menanam ulang bibit pohon yang sempat kutanam di rumah yang tergusur. Hari ini ia berumur kayu.
—
Seorang pengasuh di panti asuhan menyadari dirinya keberatan melepas salah satu anak kesayangannya. Apalagi di saat anak itu tiba di depan pintu panti, ia yang pertama menimangnya. Dari bayi hingga bisa bicara, bisa jalan, dan menjadi jahil, pengasuh itu adalah saksi hidup anak tersebut. Sudah berapa kali pula anak itu dilamar sepasang suami istri, tapi berujung sakit hati lagi. Entah mereka menemukan anak di panti lain, atau mereka melihat anak itu kentut sembarangan lalu tertawa tanpa henti. Sudah dibilang, anak itu jahil!
Pengasuh itu sudah berkali-kali mengantar sang anak ke rumah pasangan suami istri ini. Mereka sedang melakukan proses pengenalan yang jelas lebih jauh daripada pasangan suami istri sebelumnya. Yang lalu-lalu hanya main ke panti. Kali ini, mereka sudah meminta sang anak main ke rumahnya.
Melihat anak itu kembali ke panti dari rumah mereka, ada ekspresi baru yang tak pernah sang pengasuh tangkap. Di saat itu, ia mulai belajar melepaskan.
Di sisa-sisa harinya dengan anak itu, sang pengasuh kembali mengenang semua peristiwa kecil yang mereka alami bersama. Sang pengasuh sadar sang anak belum begitu awas akan kehidupan. Tapi, sang anak sudah tahu kalau ia lebih suka es krim coklat dibanding vanila. Ia sudah tahu caranya memakai baju. Begitu pula cara menyembunyikan sepatu kanan sang pengasuh. Memang dasar anak jahil.
Sebelum anak itu pulang ke rumah barunya, sang pengasuh mengambil pensil kayu untuk mengukur tinggi sang anak di dinding. Untuk terakhir kalinya, ia tarik garis dari tengah kepala sang anak dan ia tulis namanya.
Berpisah tak menghapus segala yang dilalui. Mereka semua tetap nyata, biarpun ingatan itu hanya milikmu.
—
Sewaktu menanam kacang hijau di kapas, aku berlomba-lomba menyiram air supaya ia subur dan jadi yang tertinggi di kelas. Setiap harinya kita berebutan penggaris untuk mengambil data tinggi bibit kacang hijau masing-masing. Satu anak dapat tugas menumbuhkan 10 bibit kacang hijau di dalam gelas air mineral bekas. Barang siapa yang sepuluh-sepuluhnya tidak membusuk, ia yang menang. Begitu kesannya.
Padahal, tumbuh bukan perihal siapa yang tertinggi. Atau tersubur. Tumbuh adalah tentang mengetahui apa yang membuatmu tinggi dan subur.
—
Barusan aku mendengar suara tawa yang pernah begitu lekat di telinga. Ah, tapi tak mungkin. Suara itu milik seorang pertapa, alias anak rumahan. Kalau benar itu suaranya, sejak kapan ia menyukai keramaian dan acara seminar seperti ini?
“Lho, lho, lho,”, suara itu mendekat.
Aku memutar kepala 90 derajat dan melihat wajah si pertapa itu.
“Lah, kok?”
Kita tertawa sebentar. Saling tunjuk-tunjukan, geleng-geleng juga. Sejenak kita menjadi anjing laut yang bertepuk tangan tanpa henti. Kita pula yang jadi pertunjukan, kita juga yang jadi bahan candaan.
Dari situ kita jadi melipir ruangan dan kembali berbincang sembari menenggak kopi dan teh gratisan. Perasaan ini begitu familiar. Bahkan beberapa kali ia melontarkan kalimat, “Ya, lo tau lah gue gimana,”.
“Oh, masih toh?” tanyaku.
Ia menjawab dengan mengangkat kedua alisnya.
Begitu tiba waktu berpisah — lagi, kita sama-sama mengambil goodie bag. Aku mengantre di belakangnya. Di depan konter, ternyata kita diminta tanda tangan bukti terima goodie bag. Ia merogoh kantong celana dan kemejanya dengan gusar. Kemudian membalikkan balik badan.
“Pinjem pulpen dong,” katanya.
Aku mengangkat kedua alisku. Masih. Aku masih punya kebiasaan membawa pulpen ke mana pun aku pergi. Dan ia pun masih ingat juga ternyata.
Perubahan adalah hal yang pasti, itu benar. Namun, tak menutup kemungkinan bahwa hal-hal yang bersifat kuno masih terbawa hingga sekarang.
—
Aku merayakan pertumbuhan pohon yang begitu subur. Hari ini ia berumur kayu. Baik-baik, Nak. Akarmu itu berjangkar.