Pasar Titik Terang
“Kamu gak belanja?”
Aku menggeleng sebelum disambut sahutan dari rekan kerja lain, “Dia mah belanja inspirasi buat tulisan paling.”
Ada sebuah pojok di dalam bangunan lama itu yang lebih dingin daripada sudut-sudut dan lika-liku area lainnya. Aku duduk di sana dari jam 11 siang. Memperhatikan dan menyerap. Apa pun yang ada dan siapa pun yang lewat. Dari kemarin, kebanyakan sosok yang beredar di ruangan ini pernah kusaksikan di layar telepon genggamku. Mereka sosok-sosok yang jauh lebih fiktif dibanding karakter dalam film dan buku. Siang itu aku jadi merenungi arti kata terkenal.
11.11 WIB
Seperti yang suka dibilang beberapa orang, tepat di jam tersebut sebaiknya kita mengucap hal-hal yang diinginkan. Saat itu juga aku ingin cepat-cepat rekan kerjaku tiba karena aku mulai risih dan resah duduk sendirian di tengah-tengah tempat ini. Benar saja, seorang rekan kerja datang. Ia meletakkan tas di kursi kosong, lalu pergi lagi untuk beli makan. Tak lama, rekan kerja yang lain datang juga. Ia meletakkan tasnya di atas meja, lalu pergi lagi untuk beli makan. Walaupun aku kembali sendiri, setidaknya mereka sudah di sini.
Pada meja depan kananku, tiga orang sekawan menghampiri meja yang kosong. Kursinya hanya satu — yang kemudian diduduki oleh si laki-laki. Dua perempuan lainnya langsung keliling area ini dan meninggalkannya dia sendirian. Dari balik “Memori, Kreasi, dan Fiksi” yang sedang kubaca, aku bisa melihat laki-laki itu mengeluarkan buku dari tas ranselnya. Mataku melirik lebih lama ke arahnya dan menemukan ia sedang membaca “What They Don’t Teach You at Harvard Business School”. Aku tersenyum. Di tengah tempat yang sangat asing bagiku, ternyata ada satu sosok yang juga mungkin merasa asing sehingga harus menenggelamkan dirinya dalam halaman-halaman buku.
12.13 WIB
Rekan kerjaku selesai makan. Kini saatnya aku ke area makan untuk mencari makanan yang mengenyangkan. Siang ini akan jadi hari yang panjang. Setelah mengelilingi area makanan, ada beberapa pilihan yang menarik perhatianku. Tapi ada satu perempuan yang membuatku jalan lebih lama karena tas yang dikenakannya menarik perhatianku. Di antara orang-orang asing ini, ada sosok yang menggunakan tas Daunt Books. Aku kembali tersenyum. Teringat laki-laki tadi yang membaca buku tentang Harvard dan seorang laki-laki di MRT yang juga membaca buku fiksi sains ilmiah. Mungkinkah akan tiba masanya buku dan kebiasaan membaca ini akan jadi sesuatu yang sepopuler pasar ini? pikirku.
Aku memutuskan untuk membeli ricebowl. Selagi menunggu lauknya dimasak, aku membaca sebuah tulisan di Substack tentang aplikasi kencan. Pada beberapa kalimat, aku menemukan diriku di dalam kisah-kisahnya. Kembali terkoneksi dengan orang lama, keinginan untuk mengalami meet-cute, berbincang secara daring tanpa pernah bertemu, dan lainnya. Selagi aku membaca tulisan itu di layar telepon genggamku, mungkin juga aku kehilangan momen berpapasan dengan orang yang punya potensi untuk meet-cute.
13.00 WIB
Aku duduk di tempat awal. Meja kami dikelilingi tiga kursi lainnya. Setiap kursi, diduduki oleh tas masing-masing rekan kerjaku yang sedang keliling — baik bekerja maupun belanja. Tugasku hari ini adalah supervisi dan menjaga meja agar kami punya tempat untuk buka laptop dan menyunting video di tempat yang lebih nyaman dibanding sudut-sudut lain.
Di sekitar meja kami, memang ada meja-meja lain. Semua terisi. Ada keluarga muda. Ada juga gerombolan kawan. Ada juga yang mungkin kencan. Beberapa di antara mereka berbincang dengan volume yang terlampau keras dan aku bisa mendengar beberapa obrolan mereka. Sayup-sayup, ada melodi musik yang kukenal. Telingaku menangkap lagu lama: Funkytown — Lipps Inc. Selama lebih dari lima menit, aku merasa lebih njejek di sini. Masih ada satu hal familier lagi yang kualami di tempat asing ini.
Sembari memperhatikan sekitar, aku merasa seperti kamera yang merekam banyak hal. Tubuhku adalah tripod dan mataku adalah lensa kamera yang menangkap banyak kejadian. Untuk meminimalisasi memori yang terpakai, aku menggunakan fitur time-lapse, sehingga berlama-lama melihat pun, hasilnya akan jadi sesuatu yang cepat dan tidak bersuara. Suatu hari kelak, aku bisa kembali ke memori cepat ini tanpa harus mengingat obrolan panjang sepasang kawan yang sepertinya baru bertemu lagi setelah satu dekade punya jalan masing-masing.
Seorang perempuan menghampiriku. “Kursinya ada orang gak, Kak?”. Aku menggeleng. Kalimat tersebut jadi hal yang sering kudengar siang itu. Jika aku mendapatkan Rp100.000 setiap ada orang yang bertanya hal tersebut padaku, mungkin aku tak akan sungkan untuk belanja ini itu di Pasar Titik Terang.
15.03 WIB
“Mau jadi KOL gak?” tanyaku pada seorang rekan kerja. Kami sedang menunggu para Key Opinion Leader yang sedang ambil video di area lain. Perbincangan kami berlanjut sebentar karena salah satu dari mereka sudah tiba.
Ketika aku memberikan mic pada salah satu dari mereka, aku merasa aneh. Seakan-akan melihat makhluk yang biasanya tinggal di dalam telepon genggamku lompat keluar layar dan berdiri di hadapanku. Kami berinteraksi sewajarnya manusia, sewajarnya pekerja. Ketika tanggung jawab kami terhadap satu sama lain sudah selesai, aku kembali pada renunganku siang tadi. Sebetulnya apa arti dari ‘terkenal’?
Jika kata kenal maksudnya mengenal nama dari orang-orang tersebut, artinya aku sudah gagal. Banyak di antara mereka yang wajahnya memang kukenali, tapi nama mereka tak pernah kugubris. Tendensi mataku selalu jatuh pada tengah layar telepon genggam dan sering kali tidak cukup teliti melihat nama mereka di pojok kiri bawah layar — yang kadang pun nama mereka bukan nama aktenya. Setelah melaksanakan tugas ini, aku merasa berhasil karena tidak memiliki kemelekatan parasosial dengan mereka.
16.15 WIB
Setelah berinteraksi dengan beberapa orang terkenal, aku kembali ke meja dan memandangi langit yang mulai abu-abu — meresahkan. Selagi rekan kerjaku mengedit video, aku kembali membaca “Memori, Kreasi, dan Fiksi”. Perhatianku sudah buyar sore ini. Siang tadi walaupun di tempat umum, aku masih bisa menghayati bacaan dari buku itu. Sekarang sudah tidak bisa. Akhirnya aku hanya menontoni arus orang-orang yang semakin ramai datang ke tempat ini. Ada satu sosok yang kukenali di antara wajah-wajah asing dalam arus manusia di tempat ini. Tanpa rasa ragu, aku memanggil namanya. Ia menangkap suaraku dan melambaikan tangannya dari kejauhan. Kami berinteraksi jarak jauh selama beberapa kalimat. Kemudian ia mengelilingi area tersebut dan aku kembali menontoni arus orang-orang di belakangnya sambil berharap bangunan ini cukup kuat untuk tidak jatuh.
Sore itu, tetap ada yang jatuh: air hujan dari langit. Yang kemudian kudengar juga air itu jatuh dari tenda ke meja-meja pelapak di area makanan. Mendengar cerita itu dari rekan kerja yang habis keliling membuatku turut berempati pada para pelapak.
17.28 WIB
Aku hampir pamit ke rekan kerjaku karena perlu tiba di rumah pukul 20.00 WIB. Hanya saja aku menunda kepulanganku karena sedang merasa seru mendengarkan dua orang yang baru saja berkenalan satu jam yang lalu — sepertinya.
Sejak siang, mereka sudah duduk di area meja dan kursi ini. Sebelum magrib, keduanya pindah duduk pada area di belakangku. Mereka berbincang dalam Bahasa Inggris. Salah satunya memiliki aksen yang memberikanku asumsi kalau ia bukan dari Indonesia. Awalnya, kukira mereka kawan lama yang baru bertemu lagi. Namun aku menangkap ada pertanyaan yang menangkis hipotesaku. Were you born here?
Aku tersenyum. Seketika memiliki setitik harap lagi pada kemanusiaan dan koneksi-koneksi banalnya di ruang publik. Dua orang ini asing selama bertahun-tahun. Pada hari itu, mereka duduk bersebelahan, memutuskan untuk mendobrak apapun tembok yang mereka punya, dan memiliki keberanian untuk bersosialisasi. Topik obrolan mereka pun membuatku sedikit merindukan kawan-kawanku. Mereka melompat-lompat dari bahasan tentang dekolonialisasi, modern dating, Wong Kar-wai, sepakbola, Depok, jurusan kuliah, hingga hal-hal yang tabu. Rasanya seperti mendengarkan film mumblecore secara langsung.
Sebelum matahari terbenam, sebaiknya aku sudah harus di jalan pulang. Masih ada tanggung jawab lain yang harus kuselesaikan malam itu.