One Day: Satu Hari dan Suatu Hari

Firnita
3 min readApr 13, 2024
One Day (2024)

Saya pernah mencoba untuk menonton film One Day (2011) bertahun-tahun yang lalu — jujur, saya lupa waktu pastinya. Hanya saja, saya tidak pernah selesai menontonnya karena pada saat itu film tersebut bagi saya terasa sangat lamban. Kemudian tahun ini, saya termakan bahan promosi serial One Day (2024). Apalagi, tidak jarang juga materi-materi tersebut sering kali dikaitkan oleh Normal People (2020) — salah satu serial favorit saya. Seusai menonton serialnya, benar saja, dampak yang diberikan sebelas-dua belas seperti ketika saya menonton Normal People. Saya jadi uring-uringan karena perasaan yang amat intens. Setelah istirahat beberapa minggu dan menata ulang hati, saya mulai membaca novel One Day (2009). Kali ini, selama membaca saya justru merasa senang karena diberikan ekspansi dunia Emma dan Dexter. Tetap sedih, tapi justru rasa lega lah yang mendominasi. Setelah mengonsumsi dua bentuk cerita One Day, saya kembali berusaha menonton film One Day (2011) dan kali ini berhasil menyelesaikannya.

Kurang lebih begitu perjalanan saya dengan judul tersebut. Namun, tulisan ini tidak akan mengulas atau membandingkan ceritanya. Lantas, apa yang akan dibicarakan? Konsistensi dan potensi.

Seperti judul ceritanya, One Day memiliki pola penceritaan yang konsisten di mana kedua tokoh protagonisnya (Emma dan Dexter) bertemu di satu tanggal yang sama setiap tahunnya. Mereka mengawali cerita bersama di tanggal 15 Juli 1988 dan juga berakhir pada tanggal 15 Juli di beberapa tahun mendatang. Narasi sulitnya menemukan teman setelah kehidupan kuliah direpresentasikan dengan baik di sini. Sebab, di tahun-tahun mendatang, selalu ada perubahan yang Emma dan Dexter hadapi mulai dari orang yang datang dan pergi hingga pekerjaan yang berganti-ganti. Hanya kehadiran mereka berdua lah yang konsisten dalam hidup masing-masing. Saya jadi merefleksikan sosok-sosok atau acara-acara yang konsisten ada juga dalam kehidupan. Misalnya, selalu diadakannya acara buka puasa bersama dengan teman-teman sekolah setiap tahunnya. Dalam kurun waktu yang lebih sempit pun, saya juga memiliki teman yang bisa digubris setiap hari melalui pesan teks atau teman yang biasa saya telepon seminggu sekali. Adanya konsistensi dalam kehidupan, yang konon katanya penuh misteri, tentu memberikan rasa lebih ajeg. Mereka hadir sebagai pegangan di tengah arus yang membuat diri terombang-ambing. Maka, dalam “satu hari” versi kita masing-masing, setidaknya ada kepastian yang bisa kita pegang.

Selain tentang satu hari yang konsisten itu, One Day juga memiliki makna suatu hari yang merupakan potensi. Akankah konsistensi tersebut memiliki potensi untuk menjadi sesuatu yang lebih? Dalam cerita ini, tentu kita berbicara tentang Emma dan Dexter. Sebagai penikmat kisah-kisah friends to lovers dan slow-burn romance, saya diobrak-abrik betul dengan perjalanan mereka. Mereka yang berawal sebagai teman (?), kemudian sepakat untuk (betulan) berteman, hingga akhirnya menjadi pasangan. Di antara titik-titik tersebut, tentu ada konflik-konflik dan keterlibatan orang lain yang selalu menunda mereka untuk akhirnya bisa bersama. Kebersamaan mereka adalah potensi yang sudah dilemparkan oleh empunya cerita pada penonton dan pembaca. Lagi-lagi sebagai penikmat cerita friends to lovers dan slow-burn romance, saya juga jadi memikirkan orang-orang di sekitar saya yang mengalami hal tersebut. Misalnya, berawal dari teman sekelas semasa sekolah hingga akhirnya berakhir bersama setelah sepuluh tahun fasih berkata “Ah, kita temen doang kok.”. Rasanya seperti menonton dan menjadi bagian dari film mereka. Dalam narasi tersebut, “suatu hari” mereka ternyata terwujud.

One Day (2011)

Akibat mengonsumsi tiga karya ini dalam waktu yang cukup berdekatan, saya jadi memikirkan tokoh-tokoh yang pernah konsisten hadir di keseharian dan menggambarkan harapan tentang potensi yang mungkin terjadi. Mulai dari mereka yang memang saya tinggalkan, hingga mereka yang memutuskan untuk hilang. Tiga karya tersebut mendorong saya untuk jadi lebih apresiatif terhadap mereka yang sedang menjadi sebuah konsistensi dalam keseharian saya. Contohnya, teman yang konsisten saya kirimi foto ketika saya melewati supermarket tertentu, kerabat yang konsisten saya temui di akhir bulan pada acara klub buku, atau sahabat yang konsisten saya telepon di akhir minggu.

Satu hari-satu hari yang saya miliki saat ini adalah napas segar untuk terus menjalani hari-hari lainnya. Mungkin pula suatu hari, potensi-potensi yang selama ini hanya di kepala, bisa jadi kenyataan yang akhirnya saya jalani.

Mulai dari satu hari, maka suatu hari kita bisa tiba.

--

--

Firnita

usually, i write more than this short bio. say hi through my ig/tw: @firnnita