Ngimpi Aja Dulu

Firnita
4 min readJan 26, 2020

Bukan, ini bukan campaign saingan sebuah e-commerce. Lebih ke omongan yang lagi diulang-ulang melulu yang berangkat dari satu pertanyaan pas kumpul bareng temen SMP dulu.

“Lo masih punya cita-cita jadi penulis?”

Masih dong!

Jadi sadar bahwa dulu mimpi jadi penulis itu konsumsi publik. Sebetulnya ada kecil hati juga karena hampir satu dekade dari masa SMP tapi cita-cita itu belum bisa tercapai. Tapi dari dulu intinya, ngimpi aja dulu.

Kebetulan di masa itu juga punya temen ngobrol yang sama-sama halu, sama-sama punya mimpi, sama-sama punya cita-cita. Beda aja. Dia musisi. Jadi keluhan mimpinya lebih ke kapan punya gitar ini, mau string merek itu, album si anu bagus, dan sebagainya.

Begitu SMA makin banyak punya temen ngobrol yang sama-sama halu, sama-sama punya mimpi, sama-sama punya cita-cita. Ikut ekstrakurikuler teater bener-bener bikin makin mau jadi penulis. Bahkan ada sepercik keinginan, eh main peran asik juga ya. Setiap latihan selalu dikasih ruang untuk imajinasi, untuk jadi siapa aja, untuk jadi apa aja. Di sesi-sesi latihan dulu fokus utamanya membangun diri. Salah satu pesan yang dikasih sama pelatih dulu adalah kenapa fokusnya di membangun diri supaya tetep inget kita itu siapa. Jangan sampai pas dapet suatu peran tertentu, ya riset, ya latihan, ya ngejalanin, ya tampil, terus begitu tampil ngerasa kosong dan asing karena bagian dari dirinya hilang. Lupa kita itu siapa, apa, dan bagaimana. Sesi latihan paling seru kalau lagi sesi mengakrabkan diri. Lampu ruangan dimatiin, setiap orang bebas pilih tempat nyaman untuk tiduran atau duduk atau berdiri. Tutup mata. Cuma satu yang buka mata, untuk nyolek seseorang biar cerita. Di setiap sesi itu pasti ada aja yang nangis, yang cerita hal-hal yang gak disangka-sangka. Semua orang punya giliran cerita. Outcome dari latihan ini jadi lebih saling menghargai dan lebih bisa percaya sama satu sama lain. Latihan fisik jadi latihan paling menyebalkan karena badan jadi pegel-pegel minimal dua hari setelah latihan. Lari keliling lapangan. Jalan dari ujung ke ujung lapangan tapi dengan posisi kuda-kuda dan harus seratus langkah jadi harus ambil langkah seirit mungkin, badan juga harus tetep tegak. Level kuda-kudanya harus setara sama siapa yang paling di depan, yang biasanya tingginya paling minimalis. Setiap adzan harus statis. Mau lagi berdiri, lagi duduk, lagi mau berdiri, lagi mangap. Tanpa terkecuali. Tahan posisi, atur napas sampai adzannya selesai.

Oh, those days.

Begitu kuliah, banyak kehilangan. Tapi ternyata menemukan dua temen ngobrol yang sama-sama halu, yang sama-sama punya mimpi, sama-sama punya cita-cita. Lucunya, salah satu dari mereka ternyata dulu pembaca Wattpad gue. Sebetulnya kita udah saling kenal gitu berapa minggu di awal kuliah, baru di minggu keberapa dia tau nama pena gue pada masanya. Kemudian terjadi pendobrakan kamar kosan dengan kalimat yang kurang lebih seperti ini,

“Woi, jadi selama ini lo itu dia yang di Wattpad?”

Jujur masih inget, itu baru banget keluar kamar mandi. Jadi kaget. Kebetulan dulu kamar kosan satu berdua. Jadi dia udah masuk kamar bareng sama temen sekamar. Dari situlah kita berdua jadi sobat halu. Dia juga mau jadi musisi, tapi dia suka nulis juga.

Kalau temen yang satunya awalnya sempet ada drama dan agak sebelnya karena dia sibuk latihan jadi dulu mau nongkrong dan ngobrol bareng aja sulit. Yang ini seneng nari. Akhirnya begitu ada kesempatan nonton dia tampil, semua rasa sebelnya luruh.

Kalian ngeh gak sih di orang-orang yang jujur dan tulus ngejalanin hobinya tuh ada sparks yang meningkatkan attractiveness levelnya secara eksponensial? Nah itu. Itu yang gue liat ada di dia selama nari. Oh, dia juga suka nulis.

Titik terhalu kita bertiga adalah waktu itu mau audisi untuk jadi ensemble di suatu musikal. Dua jadi pemain, satu jadi musisi. Luar biasanya, yang jadi musisi keterima. Dia main biola. Rasa kecewa gak keterima itu terbayar karena setidaknya ada salah satu sobat halu yang diterima. Bangga. Akhirnya kita nonton musikal itu.

Anak ini juga semudah itu nangisnya kalau nonton film atau series yang berbau cita-cita atau mimpi. Begin Again, Sing Street, Rise, Glee, High School Musical, dan tentunya La La Land. Butuh waktu yang sangat lama untuk bisa rela ninggalin studio abis nonton La La Land. Melihat dua orang yang pernah mimpi bareng, menata mimpi bareng, tapi akhirnya harus jalan sendiri-sendiri — walaupun akhirnya tercapai mimpinya — betul-betul bikin sakit hati luar biasa. Rasanya kayak, hal seperti ini bisa banget terjadi di kehidupan nyata.

Beberapa waktu lalu, gue ketemu sama beberapa orang pemimpi yang disebut di atas. Dalam waktu dan tempat yang berbeda-beda tentunya. Dasar kita, ternyata masih sama-sama punya mimpi. Masih mau jadi penulis, masih mau main teater, masih mau jadi musisi — main gitar, main biola. Percakapan topik ini rasanya ringan banget. Padahal beberapa udah lama gak ketemu, udah lama gak chat, atau sekalinya chat cuma minta tolong like poster kompetisi di instagram. Kalau kata seseorang sih, like minded people always finds a way to go back to each other.

Kemarin anak ini lagi beres-beres akun instagramnya. Alhasil menemukan satu foto yang tulisannya “Calon Novelis”. Pas diliat tahun uploadnya ternyata 2013. Sekarang 2020. Bahkan kertas tulisan itu aja udah gak tau dimana, cuma sisa jejak digitalnya. Perasaan yang sangat campur aduk. Sadar. Iya ya, gue udah punya mimpi dari dulu, dari SMP. Kalau kata anak Twitter, harusnya pas 2013 itu caption instagram gue “No offense but becoming a published writer actually really sucks,”.

Intinya sih kalau kata Om Lennon, “You may say I’m a dreamer, but I’m not the only one,”. Imagine aja dulu. Ngimpi aja dulu. Jangan lupa tidur biar bisa mimpi. Bilas muka, gosok gigi juga katanya. Berdoalah sebelum kita tidur, jangan lupa cuci kaki tanganmu, jangan lupa doakan mama papa kita. Gitu lah kurang lebih.

Here’s to the fools who dream.

--

--

Firnita
Firnita

Written by Firnita

usually, i write more than this short bio. say hi through my ig/x/tiktok: @firnnita

No responses yet