Mungkin Aku Patah Hati
Ibu menarik selimutku siang ini. Ia kira aku sudah mulai cuti Idulfitri. Ketika kubilang kalau hari ini jadwalnya bekerja dari rumah, ia langsung menarik korden dan membuka jendela. Seketika, kamar tidurku diguyur sinar matahari–tapi aku masih kedinginan.
Aku masih meraba-raba akar terdalam dari kedinginan ini. Belakangan, lagu-lagu Phoebe Bridgers, Sufjan Stevens, dan Novo Amor sedang sering menemaniku. Mereka membawa musim dingin dan salju-saljunya ke kamar tidurku. Sinar matahari tadi tidak punya kuasa melelehkan bongkahan salju yang sepertinya mulai jadi bagian dari diriku.
Dalam layar yang kecil, aku memerhatikan mereka yang berteriak, yang meringis, tapi masih sambil berharap. Ada pula mereka yang sibuk belajar dung dung tak dung dung tak dung tak dung dung tak dung dung tak dung tak dung dung dung dung dung tak tak tak tak dung tak dung tak dung tak dung tak. Lalu mereka menjulurkan lidah sambil berpose tangan garpu siomay. Prasangkaku bilang, mereka mungkin juga sedang patah hati. Seorang kawan pernah bilang kalau setiap orang punya caranya masing-masing dalam menavigasikan perasaannya. Termasuk aku, yang masih bingung. Gagap sendiri ketika lagi-lagi air mata jatuh di siang bolong. Terlalu banyak yang terjadi di luar. Terlalu banyak yang terjadi di dalam pula.
Tebakanku, rasa ini makin menjadi-jadi karena minggu lalu aku habis nonton orkestra La La Land di negara tetangga. Tentu pertunjukan itu membuatku menangis. Ditambah pula, selama berlibur itu, aku juga membaca buku All Lovers in The Night karya Mieko Kawakami. Sekali pun membacanya di negara tropis, buku ini juga membawa salju tak kasat mata di sekujur tubuhku.
“We’d only met up a handful of times, which made it harder to understand how I could feel like this. I didn’t know the first thing about him. I couldn’t even see inside my feelings far enough to know what they meant. Over and over, I asked myself if this had all been some kind of mistake.”¹
Salahkah? Aku masih ingin memikirkan romansa di tengah-tengah berita tentang tikus dan babi. Masih ada api kecil yang ingin kurawat dalam hati untuknya. Yang kobarannya lebih tenang dibandingkan liuk kemarahan di Malang sana. Malam kemarin, aku ikut merasa marah dan bersalah karena masih menyempatkan diri memikirkan perihal jodoh. Aku memukuli diri sendiri dengan bantal hingga akhirnya kemarahan itu dipadamkan oleh air mataku sendiri.
Sudah masuk hari kesepuluh, air mataku mengalir tanpa aba-aba di malam gelap. Jumat kemarin, Duolingo mengirimkan notifikasi di hampir tengah malam ketika aku sedang khusyuk-khusyuknya menangis. Kubuka aplikasi itu dan menyadari kalau aku belum belajar bahasa apa pun sejak pagi. Akhirnya aku memutuskan untuk belajar bahasa Irlandia. Jaga-jaga jika jodohku ternyata orang sana. Sembari mengisi jawaban, aku mulai menimbang-nimbang untuk belajar bahasa Korea atau Jepang. Dua negara itu lebih dekat dibandingkan Irlandia. Jaga-jaga juga jika jodohku ternyata orang sana. Wabing! Api Duolingo-ku bertambah jadi 50. Aku mengusap air mata yang sudah bercampur dengan lendir ingus dari hidungku.
Sebentar lagi lebaran dan hawa-hawa kemenangan masih belum tercium. Kemarinan saja kita baru kalah 5–1 dari Australia. Mungkin besok menang lawan Bahrain. Mungkin lusa menang juga melawan orang-orang zalim.
Apa hukumnya menyumpahi orang-orang yang zalim, Pak Ustad?
Malam-malam ke depan, aku ingin percaya bahwa kawan-kawanku yang i’tikaf juga menyisipkan doa-doa perlindungan kolektif setelah mengadu ke pusat. Mungkin mereka mengencangkan tangisnya, menundukkan kepalanya, menengadahkan kedua tangannya yang semoga diguyur cahaya dan panduan yang kemudian ditularkan pula pada sesama. Aku berjuang dari ranjang sembari kubaca-baca juga doa dari TikTok yang sudah kusimpan.
Ingatkah kamu tentang kemenangan yang kita raih di bulan Ramadan hampir 80 tahun yang lalu? Kita merdeka. Memang di bulan Agustus pada kalender masehi, tapi pada kalender hijriah, saat itu sedang bulan Ramadan. Mungkin para pahlawan kita juga menerapkan metode jalur langit agar bisa segera terlepas dari para penjajah. Mungkin kita bisa juga menang di bulan suci ini. Merdeka lagi di bulan Ramadan ini.
Iya lagi iya lagi iya lagi.
Tiga belas tahun yang lalu aku menonton film The Hunger Games di bioskop. Kami begitu menantikan rilisnya film distopia tersebut tanpa menyangka-nyangka kalau hari ini kami seperti hidup di dalamnya. Kawan-kawanku pada masa itu sudah terpisah-pisah sekarang. Ada yang masih suka kukirimkan cuitan, ada yang sudah tinggal di luar negeri, ada yang sebenarnya masih ada tapi rasanya sudah tidak sejalan lagi. Hari ini aku lebih sering menggandengkan tanganku pada kawan-kawan yang baru kukenal selepas pandemi. Aku berusaha menopang mereka dan mereka pula yang menguatkanku di hari-hari seperti ini. Kuharap kamu juga memiliki kawanan yang seperti ini.
Aku belum tahu apakah malam ini aku akan kembali menangis sembari memutar outro Scott Street slowed and reverbed 1 hour. Aku belum tahu apakah besok aku punya kekuatan untuk bangun dari kasur untuk berangkat ke kantor. Aku belum tahu apakah aku akan mengirimkan surat untuknya agar ia tahu perasaanku yang kekanak-kanakan ini. Yang aku tahu pasti, hari ini aku menulis: merekam rasa, meninggalkan jejak, dan mencatat kejadian-kejadian.
Kata-kata hari ini?
Do it scared. Do it scarred.
“We regret the things we don’t do more than the things we do.”¹
—
¹ diambil dari buku All The Lovers In The Night karya Mieko Kawakami