Mengenangmu Lewat Barasuara
— dalam cerita ini, D adalah jamak
Kamu yang mengenalkanku pada Barasuara. Setelah berbulan-bulan hanya mendengar dua lagu dan mengagumi video lirik ‘Bahas Bahasa’, akhirnya aku terjun lebih dalam dari sebelumnya. Semua karenamu. Ketika aku sudah sedalam itu, kamu malah pergi duluan — dikubur dalam liang lahat yang dalam juga.
Yang menciptakan hidup dan kematian
Tempat di mana kita dikembalikan¹
Untungnya selama beberapa tahun selama kita berkawan, kita juga sudah sempat memiliki memori-memori baik tentang mereka. Saat rindu menghantui malamku, aku kembali memutar video Barasuara di Synchronize Fest pada tahun 2017. Itu kali pertama kita menonton mereka bersama. Kita bernyanyi, berdansa, dan bertepuk tangan. Saat itu juga, aku baru tahu kalau lirik lagu ‘Hagia’ berasal dari doa-doa yang biasa kamu panjatkan hampir setiap malam — sebelum kamu mematikan lampu dan menarik selimut kuning, menutupi seluruh permukaan tubuh mungilmu itu.
Di dalam kamar yang sama, kamu juga pernah memutar video Sounds From The Corner di kala kita sama-sama buntu dan merasa kebakaran. Kita menunda belajar malam itu. Lantas, yang kita lakukan justru menonton dan melantunkan lagu-lagu Barasuara serta Efek Rumah Kaca. Itu jadi salah satu momen pertama yang kita bagi juga. Di malam-malam lain saat kita sedang semrawut lagi, kita akan memutar video itu. Sejak kamu pergi, aku sudah beberapa kali membiarkan video itu terpasang sembari aku beberes kamar atau menangis di kasur.
Kau yang kurindu²
#1: Pestapora 2023
Semua yang kaurindu
Semua menjadi abu³
Minggu lalu, kamu berpulang dan malam ini aku berdiri di dalam hall D2 JIEXPO Kemayoran untuk menyaksikan Barasuara serta Efek Rumah Kaca berbagi panggung. Tenang, aku tidak sendirian. Ada D di sini — kamu tidak mengenalnya, tapi kurasa jika kukenalkan, kalian akan nyambung-nyambung saja.
Setlist yang mereka bawakan mirip dengan urutan Sounds From The Corner dan hal itu membuatku merinding. Aku memperhatikan sekitar, melantunkan lagu-lagu mereka, dan melompat-lompat bersama D. Aku menepuk pundaknya ketika lagu yang kusuka dilantunkan. D berteriak ketika lagu yang disukanya dilantunkan. Malam itu kami seperti mengenal satu sama lain lebih dalam. Setidaknya aku tidak merasa sendirian — dan kesepian.
Dalam kerumunan ini, kamu memang tidak ada. Tapi bagian dari dirimu tentang mereka lekat dalam memoriku. Candaan kita adalah sebuah track eksklusif. Tawamu jadi suara yang sangat tipis di antara lagu-lagu tersebut. Hanya aku yang tahu.
Aku mencari wajahmu dalam sepi
Aku merindu senyummu hingga biru⁴
Sembuhkan lukamu
Yang membiru³
Tahun lalu, mereka merilis album baru — dan kamu tidak akan pernah mendengarnya. Namun, saat pertama kali kuputar lagu-lagu itu, suaramu seperti terselip di antara kata-katanya. Berbulan-bulan setelah tak kudengar tawa dan warna suaramu, ia seperti hadir di dalam lantunan melodi Jalaran Sadrah — tidak masuk akal, tapi terasa.
Hingga hari ini aku masih merasa gagu setiap orang bertanya apa rasanya kehilanganmu. Ada satu video Barasuara yang menggambarkan hidupku beberapa bulan pertama setelah kamu pergi. Ketika kudengar set panggung mereka saat itu, ada hal yang kurang. Saking seringnya kudengar mereka, aku sudah hafal warna suara mereka masing-masing. Benar saja. Ketika kuperhatikan videonya dengan baik, ternyata di panggung itu ada satu personil yang tidak ada di atas panggung. Sepanjang video itu, aku berpikir “Oh gini ya…”. Ada yang hilang, rasanya pincang.
Yang mati takkan kembali⁴
#2: Pestapora 2024
Menari-nari walau terluka tak kau tangisi
Berdiri lagi di dalam sepi menari-nari⁵
Setelah hampir satu tahun berkawan dengan D, aku baru tahu kalau dia juga suka band tersebut. Ketika ia mengetahui band tersebut akan manggung di festival yang akan kami datangi, D jingkrak-jingkrak. Pun aku. Kemudian kami sama-sama “Hu! Sah!”. Rasanya sudah lama sekali aku tidak sebahagia ini berbagi memori tentang band tersebut. Ada sedikit rasa bersalah yang mengetuk. Aku seperti memberikan memori lama kepada orang baru — yang bahkan belum sempat kukenalkan padamu ketika kamu masih ada.
Berminggu-minggu sebelum kami menonton mereka, aku berbagi banyak cerita tentangmu pada D. Untungnya, D menyambut hal itu dengan baik.
Ketika kami menonton di sana, D yang berdiri di depanku langsung menoleh ke arah belakang dan bilang “Lagu kamu!”. Bahkan dia tidak menggunakan kata “kita”. Seakan-akan D memang berusaha menghormati memori yang kumiliki denganmu, bukan tentang menggantikan memori itu dengannya. Aku memerhatikan gerak-gerik D dari belakang. Rasanya sangat familier. Seakan-akan itu kebiasaan lama yang sudah beberapa waktu tak kulakukan. Membiarkan seorang kawan yang lebih pendek dariku berdiri di depan. Kamu dan D — tapi rambutnya tidak ikal.
Pada akhir lagu, aku mengangkat dan bertepuk tangan sesuai ritme lagu — seperti biasa. Walau tanpamu, ada memori yang masih lekat. Ternyata, sekujur tubuhmu mengingat hal itu.
Senyum kekalmu yang menari
Tersimpan di memori¹
#3: Kios Ojo Keos 2025
“Apapun yang kan kamu cari adalah bisikanku”⁶
Jika kamu masih ada, bisa jadi kita akan sama-sama menertawakan band viral satu ini. Dan kamu mungkin akan menyusulku sepulang jam kantor untuk bertemu dan menonton mereka di daerah Lebak Bulus. D yang kali ini jadi kembali mendengarkan lagu-lagu mereka karena film SORE — yang dulu webseries-nya kita tonton bersama di kelas semasa kuliah.
Malam itu, aku mengintip layar gawai D yang membuka lirik lagu dari album “Jalaran Sadrah”. Kami sama-sama mengakui kalau belum hafal mati kata-kata di album ketiga. Sesekali, kami tebak-tebakan di detik-detik awal lagu dimainkan. Lalu dulu-duluan menyebut judul lagu. Aku menebak. D memencet judul lagu tebakanku di layar gawainya. Jika benar, D mengacungkan jempolnya. Kalau salah, D mengernyitkan alisnya lalu kembali pada halaman semua judul lagu di album ketiga. Lain halnya dengan lagu-lagu dari album “Taifun”. Baru satu detik, kami sudah bersorak. Bahkan ada lagu yang dari pengenalannya saja sudah bisa kami tebak. Sepanjang malam itu, aku bernyanyi dengan yang lain — tapi aku masih bisa mendengarmu.
Teringat seru suaramu
Menepis keraguan⁷
Hal yang ingin kau lupa
Justru semakin nyata³
Minggu lalu aku mampir ke tempatmu. Kugelar tikar di samping gundukan tanah yang menimbunmu. Kuceritakan kabarku — yang mungkin kamu dengar atau tidak pun juga tak apa. Aku melihat dua ekor bebek jalan-jalan di antara gundukan kuburan. Di dunia lain mereka adalah kita, pikirku.
Siang itu aku bersama D. Kami sudah sama-sama menonton SORE: Istri Dari Masa Depan. Kami mengenang masa-masa bersama menonton dari laptop D di kelas, lalu aku ngglosor dari kursi karena kemanisan. Kamu hanya melihatku sembari mengernyit. Selalu seperti itu.
Kemudian kami saling menceritakan hal-hal yang mungkin akan kami ceritakan pula padamu jika kamu masih hidup. D tertawa mendengar ceritaku. Aku pun juga masih gemas menggali cerita D karena seperti yang kamu tau juga, dia bukan kawan yang akan bercerita jika tidak ditanya. Hidup tetap berjalan setelah kamu pergi. Pada hari-hari tertentu rasanya memang hampa, tapi rasanya aku bisa menemukanmu di berbagai sudut dan benda. Mungkin itu caramu tetap ada? Atau mungkin itu caraku agar tetap bisa merasa lebih waras? Entahlah.
Kami pamit dulu dari tempatmu. Maaf, aku lupa memutarkan album “Jalaran Sadrah” siang itu. Padahal aku bisa saja meletakkan gawaiku di antara tangkai-tangkai bunga yang mengering, tapi aku terlalu sibuk cerita ini itu.
Malam ini, ya. Di hari lahirmu.
Aku masih kirim doa.
Kita kekal di kepulangan
Kita kekal di kepulangan⁸
Catatan kaki:
¹ = Lirik dari ‘Merayakan Fana’
² = Lirik dari ‘Biyang’
³ = Lirik dari ‘Mengunci Ingatan’
⁴ = Lirik dari ‘Fatalis’
⁵ = Lirik dari ‘Pikiran dan Perjalanan’
⁶ = Lirik dari ‘Tarintih’
⁷ = Lirik dari ‘Terbuang Dalam Waktu’
⁸ = Lirik dari ‘Manusia (Sumarah)’
