Mengenang Ramadan

Firnita
5 min readMar 7, 2025

— Untuk T & L

Pada layar kecil di genggamanku, ada banyak orang yang berbagi tentang pertama kalinya mereka masuk ke bulan suci Ramadan dengan suami atau istrinya. Tentu ini hal baik. Aku pun menantikan masa itu pula. Namun, dalam hatiku ternyata masih ada bagian yang berhitung ini sudah putaran tahun keberapa aku merayakan bulan Ramadan tanpa sosok-sosok tertentu.

Ilustrasi oleh @nommnoman

Hampir setiap tahun juga, narasi orang-orang tentang merindukan Ramadan begitu menggema. Begitu pula di sekitarku. Aku sendiri juga sadar ada hal yang berbeda dengan Ramadan. Maka ia terasa lebih istimewa dan sangat wajar jika dirindukan. Kegiatan sehari-hari yang melamban, orang-orang yang berlomba-lomba melakukan kebaikan, dan tentunya santapan-santapan untuk jam berbuka puasa yang rasanya lebih nikmat daripada biasanya. Kehadiran hal-hal tersebut memang menghapus rasa rindu pada suasana Ramadan secara umum. Hanya saja, tanpa mereka yang sudah berpulang ke sisi-Nya, Ramadan juga jadi terasa beda. Doa-doa yang dipanjatkan jadi bukan hanya tentang diri sendiri, tapi juga mereka. Mungkin aku belum sepenuhnya ikhlas, sebab terkadang ketika mendekati jam maghrib atau bahkan saat sahur, aku masih memikirkan mereka. Kemudian membayangkan kira-kira apa yang akan mereka lakukan di meja ini, di hari ini, dan di masa ini?

Mereka sudah menjadi cerita yang berhenti. Aku saja yang masih di bumi sering mengarang-ngarang kelanjutan atau alternatif kejadian tentang mereka. Mungkin aku belum sepenuhnya ikhlas dan barangkali kamu yang membaca ini setengah menghakimiku karena mungkin kamu juga orang yang pernah berkata “diikhlasin aja, nanti mereka gak tenang di sana.” Aku tahu betul omongan itu. Aku pun pernah menjadi orang-orang itu. Tapi kali ini, aku ingin mengenang mereka yang mewarnai bulan Ramadan-ku. Mereka yang meninggalkan kesan dan memberikan makna lebih di bulan suci ini.

#1: T adalah mendiang Kakekku

Saat kecil, aku selalu buka puasa bersama T di rumah. Ia sering buka puasa dengan tomat yang diiris dadu dan disajikan pada piring tatakan cangkir teh. Pada sisi terpinggir piring itu, ada taburan gula. Aku lupa menu buka puasaku pada saat kecil apa. Hal yang paling kuingat justru kebiasaan-kebiasaan T.

Ia akan keluar dari kamarnya pukul 17.00 WIB dan mengenakan peci putih rajut, kaos putih yang bahannya sudah menipis, serta sarung. Aku masih di kamar. Mungkin tidur — karena katanya itu ibadah — atau mengerjakan PR. Kegiatanku di sore itu akan terhenti ketika T mengetuk kamarku, membuka pintunya, lalu bersenandung dengan riang. Ia sudah kembali seperti anak kecil. Kami lah dua anak kecil yang selalu berbuka puasa bersama di rumah. Bedanya, aku si anak kecil yang tahu cara mengganti kanal di televisi ruang keluarga. Sedangkan T adalah anak kecil yang tahu caranya menyuruhku untuk menyetel televisi di ruang keluarga. Ia akan duduk di sofa. Aku akan membuka kulkas dan merasakan hawa dinginnya di menit-menit menuju jam magrib. ART di rumah kami akan mulai meletakkan menu bukaan T di meja. Kemudian T akan berjalan dari sofa ke meja makan, lalu bertanya padaku “Ayah sama Ibu di mana?”. Aku mengangkat bahu lalu berlari ke telepon kabel di samping televisi. Iklan-iklan bersuasana buka puasa diputar di sana sambil aku menunggu Ayah atau Ibu yang menjawab telepon. “Masih di jalan,” begitu kata salah satu dari mereka. Aku menutup telepon dan menyampaikan pesan itu ke T. Ia mengangguk.

Sembari menunggu jam berbuka, biasanya kami akan mengobrol — tentang apa pun. Begitu azan berkumandang dari televisi, T akan mengucapkan “Alhamdulillah” lalu membaca doa dan mengambil kurma di meja. Aku mengikuti gelagatnya. Selesai makan, ia akan mengajakku untuk salat berjamaah. Hal tersebut adalah kegiatan yang dulu tidak kusuka. Kenapa? Soalnya hafalan surat T begitu banyak! Pada salat magrib berjamaah yang bacaannya dilafalkan, aku sering kabur (baca: rukuk duluan) ketika T mulai membaca surat pendek yang depannya bukan “Qul”. Seusai salat, T akan menghampiriku yang lagi asyik menonton sinetron — mungkin Candy — di ruang keluarga. Kemudian T akan pura-pura menangis dan meniru artis sinetron di layar kaca sambil berkata “Huhuhu… Aku kok ditinggal lagi”. Saat itu, aku hanya tersenyum. Sambil mengenang masa itu, aku lumayan menyesal lebih sering kabur daripada menuntaskan salat berjamaah bersama T.

#2: L adalah mendiang Kawanku

L tidak merayakan bulan suci Ramadan. Tapi kami tinggal bersama di dalam satu kamar kos-kosan selama kuliah. Pertama kali aku sahur di kamar, aku tidak tega untuk menyalakan lampu kecil di kamar kami. Akhirnya yang kulakukan adalah menyalakan lampu kamar mandi, membuka pintunya agar cahaya kuning temaramnya terpantulkan dengan sopan pada cermin di pintu lemari kami. Kondisi kamar kami bukan yang memisahkan dua penghuni. Desain ruangannya lebih seperti kamar hotel dengan twin bed yang berdampingan dan dipisahkan oleh rak menggantung di dinding. Di depan kasur kami yang terpisah, ada meja belajar masing-masing. Pada meja itulah aku rutin sahur sendirian karena terlalu malas untuk sahur di dapur bersama — aku malas pakai kerudung keluar kamar.

Di malam sebelum aku sahur, L sebenarnya sudah bilang padaku kalau mau sahur nyalakan saja lampunya biar terang. Tapi mengetahui kebiasaannya dan jam tidurnya yang buruk, aku tak tega hati menyalakan lampu meja belajar kami yang warnanya putih dan menyilaukan. Aku khawatir makin merusak jam tidurnya. Hanya saja, ketika aku sedang menyendok nasi dalam setengah kegelapan, L terbangun. Ia hendak ke toilet. Aku mendadak merasa bersalah karena membuka pintu kamar mandi terlalu lebar. Selepas ia selesai dari toilet, L kembali membuka pintu kamar mandi dan bahkan menyalakan lampu di meja belajarnya. Aku kebingungan. L tidak berkata-kata dan langsung kembali ke ranjangnya lalu menarik selimut sampai menutupi kepalanya. Aku menyelesaikan sahur kemudian mematikan lampu itu.

Pada pagi harinya ketika kami sudah bangun untuk bersiap-siap berangkat ke kampus, L bertanya, “Kenapa gak nyalain lampu aja sih pas sahur?”. Aku bilang kalau aku tak tega membuat kamar terlalu silau. L bilang tidak apa-apa. Aku mengangguk saja. Malam selanjutnya, hal yang sama terulang lagi. Aku serta keenggananku menyalakan lampu saat sahur, dan L yang terbangun untuk ke toilet dan tangannya yang menyalakan lampu meja belajarnya untukku. Begitu terus di minggu pertama. Rasanya lumayan dingin karena aku banyak merasa tak enak, tapi L selalu mengingatkan kalau ia tak apa-apa.

Selepas kelas, aku lebih sering langsung pulang ke kosan. Sedangkan L lumayan sering hanya menaruh sepeda di kosan dan lanjut pergi mengerjakan tugas di luar. Pada bulan Ramadan itu, ia sering meneleponku sebelum magrib dan bertanya “Mau dibawain apa?”. Tentu aku bertanya balik, “Tergantung. Lo lagi di mana?”. Kalau ia sedang di kedai kopi favoritnya, aku suka menitip minuman coklat hangat atau kukis. Kalau ia sedang di Mall of Indonesia, aku menitip dibawakan Shu Shu. Kalau ia sedang di Mall Kelapa Gading, aku menitip dibawakan Liang. Apa pun titipanku, L tidak pernah merasa direpotkan. Ia akan kembali ke kosan dengan makanan titipanku dan mengucapkan “Met buka puasa,”.

Cerita tentang mereka di bulan Ramadan memang sudah tamat. Namun, aku masih akan terus mengenang mereka sebagai bagian dari bulan suci ini. Semoga saja ketenangan dan hal-hal baik tetap menyertai mereka di alam yang berbeda.

Semoga mereka yang juga sudah tidak merayakan bulan suci ini bersamamu diberikan ketenangan pula. Doa-doa baik untuk mereka. Hal-hal baik untukmu.

--

--

Firnita
Firnita

Written by Firnita

usually, i write more than this short bio. say hi through my ig/x/tiktok: @firnnita

Responses (1)