Maret 2025
Bertemu lagi dengan bulan Ramadan artinya merindukan keberadaan almarhum kakek sedikit lebih banyak dari hari-hari biasanya. Ia orang yang selalu menemaniku buka puasa di rumah sewaktu kecil, ketika orang tuaku masih terjebak macet di jalan. Tahun ini, aku menyadari sepenuhnya kalau roda sudah berputar. Akulah yang sekarang jadi lebih sering buka puasa di jalan atau di kantor atau bersama teman-teman sebelum akhirnya pulang. Kemudian kulihat ibuku yang sedang santai di sofa sembari menonton silat di televisi dan ayah yang ketiduran di kasur dengan lampu kamar yang masih menyala.
Pada hari-hari aku bekerja dari rumah dan buka puasa di rumah, aku mencoba memanfaatkan waktu dengan lebih baik. Mencuri waktu istirahat lebih lama untuk membaca arti-arti dari doa yang selama ini sudah kuhafal karena didikan sekolah dahulu. Mengembalikan memori tentang surat-surat selain trio qul yang membuatku ingat betapa sulitnya menghafal Surat Al-Bayyinah pada masanya. Membiarkan FYP TikTok-ku penuh dengan video atau cerita tentang agama yang kupercayai termasuk doa-doa baru yang akhirnya kusimpan. Kurasa ada bagian dari diriku yang terpanggil lagi.
Tahun ini juga aku berkesempatan merasakan bulan Ramadan di negara lain — yang ternyata juga punya pasar khas untuk buka puasa. Melihat keramaiannya membuatku senang. Ketika aku sedang berjalan di sebuah jembatan, seorang ibu-ibu paruh baya menyapaku untuk bertanya tentang jalan. Kukatakan padanya kalau aku kurang paham daerah ini. Ketika kukira percakapan kami usai, ia melanjutkan.
“Raya is near ya. Are you happy?”
Aku tersenyum dan merasa diterawang oleh orang asing ini. Kuladeni percakapannya untuk beberapa meter seraya dua kawanku memelankan langkah mereka dan tak lagi jalan sejajar denganku.
“You and the other muslims should really wear more Raya outfits on daily basis. It’s nice to see such colorful and festive wear on streets. Nowadays the youth are too modern, too basic.”
Aku tertawa — teringat seorang kawan di Depok yang sehari-harinya sering berkebaya dengan warna nyontreng itu.
Namun, bulan Maret kemarin bukan hanya tentang Ramadan serta dialog internal dan eksternal tentang spiritualitas. Maret juga tentang patah hati. Mulai dari kembali mengingat yang pernah ada hingga meratapi yang akan pergi. Begitu pula menangisi nasib diri yang masih dijajah orang-orang berkepentingan. Pada suatu Kamis di bulan lalu, aku memiliki jadwal untuk buka puasa bersama yang berbarengan dengan hari turun ke jalan. Aku memang tidak turun ke sana, namun di hari-hari seperti itu aku selalu membiarkan diri untuk dikelilingi orang-orang yang bisa kupercaya. Rasanya sempat berat untuk berangkat ke alamat buka puasa itu setelah berjam-jam berbagi ruang kerja dengan mereka. Bisakah aku merasa seaman ini di tempat itu nanti? Ternyata jawabannya tidak. Ada kalimat-kalimat yang sengaja tak kuselesaikan di dalam obrolan buka puasa itu. Ada pemikiran yang tidak kugelar di atas meja. Ada rasa melegakan ketika acara itu selesai. Di jalan pulang, aku melihat salah satu update-an kawanku yang harusnya bisa datang ke tempat buka puasa tadi. Ternyata, ia turun ke jalan. Aku tersenyum.
Ramadan memang bulan yang baik, tapi Maret adalah bulan yang melelahkan. Hingga aku mengunggah tulisan ini, aku masih dalam pemulihan atas kebrutalan bulan tersebut. Selalu, aku bersyukur memiliki kawanan yang tetap punya cara merekatkan hatiku bahkan ketika kami sedang jauh.
Sampai jumpa bulan depan.
Fin.
Beberapa hal yang berkesan di bulan ini:
- Lagu: everything u are oleh Hindia
- Film: Paterson oleh Jim Jarmusch
- Serial: Adolescence
- Buku: All The Lovers in The Night oleh Mieko Kawakami