Kenapa Sih Hal-hal Kecil Gini Harus Inget?
Untuk A & O
Barangkali di umur yang sudah besar, mengingat hal-hal yang terjadi saat masih kecil jadi opsi pelarian dari tanggung jawab yang membesar pula. Minggu ini, aku dan kedua temanku jadi bertukar cerita tentang kekonyolan di masa kecil yang kita lakukan demi anak kecil lainnya. Otak kami yang masih banyak kosongnya tentu meresap hal-hal tersebut sampai ke inti-intinya. Belasan tahun kemudian, kami masih mengingat itu semua dan sudah bisa menertawakan ulah kami sendiri.
Tak jarang, aku juga jadi orang yang lebih mengingat suatu peristiwa dibanding orang lain. Ada sebuah video di TikTok yang menunjukkan pertemanan antara dua orang, di mana teman pertama memiliki goldfish memory span dan teman kedua selalu bisa mengingat lebih lama. Aku bagian dari kategori teman kedua. Hal ini diakui oleh banyak orang di sekitarku. Ketika aku membicarakan ulang tentang sebuah peristiwa yang pernah terjadi, mereka akan mendengarkan dan akhirnya mengungkapkan sesuatu: Kok kamu bisa inget banget? Biasanya aku akan merespons dengan mengangkat kedua bahu. Di dalam hati, aku merasa punya kemampuan mengingat seperti ini ibarat mukjizat yang juga sekaligus kutukan.
Aku menyayangkan memori-memori atau fakta-fakta yang sebetulnya lebih penting tapi justru tidak terekam dengan baik karena hal-hal kecil yang kuingat. Misalnya, jika kamu menanyakan padaku tentang ibu kota-ibu kota negara, aku akan langsung menyerah. Tapi jika kamu bertanya padaku tentang tulisan vandal yang ada di belokan T.B. Simatupang menuju Antasari, aku bisa menjelaskannya tentang mulai kapan kalimat-kalimat itu ada dan bagaimana ia dibiarkan begitu saja hingga akhirnya ditiban oleh cat kuning, jingga, dan hijau yang membentuk pola pagar betawi.
Hal-hal yang kuingat tentang masa kecil begitu banyak. Ini hanya segelintir dari memori-memori masa kecil yang masih terekam. Kadang, mereka juga yang membuatku tersenyum di siang bolong ketika aku sedang ingin merasakan sesuatu.
Kuku
Aku masih di taman kanak-kanak. Pagi itu semua murid berbaris dan kami berlomba untuk masuk kelas terlebih dahulu. Jadilah, kami saling mepeuk pundak untuk meluruskan barisan. Posisi barisanku di samping kiri barisan laki-laki. Ketika bu guru mulai memilih barisan yang boleh masuk duluan, aku mulai cemas. Barisanku tak kunjung dipilih sampai tersisa tiga baris terkiri — termasuk barisanku. Sejak kecil, aku memiliki kebiasaan menggigit kuku ketika cemas. Saat itu juga seorang murid di kananku menangkapku sedang memasukkan jari ke dalam mulut. Aku menyadari pandangannya. Ketika aku melihatnya, barisannya ditunjuk untuk masuk. Sebelum ia hilang dari pandanganku, ia berkata “Emang makanin kuku tuh enak ya?”.
Kacang polong
Di dalam kelasku semasa SD, meja-meja dibuat berkelompok dan posisi duduk murid selalu berputar setiap bulannya. Jam makan siang jadi kesempatan untuk berbincang para murid. Siang itu, aku dan beberapa orang di meja memiliki menu makan yang sama karena kami langganan katering. Ada juga murid yang membawa bekal. Satu persatu murid lain menghabiskan makanannya, menyisakan aku dan dua murid lainnya. Menu makanan hari itu adalah nasi goreng mentega. Di dalamnya terdapat suwiran ayam dan kacang polong. Aku melihat anak laki-laki di depanku menyingkirkan kacang polong ke sudut kotak makan. Sepertinya ia tidak suka kacang polong, pikirku. Jam makan siang sebentar lagi habis. Satu murid di mejaku juga sudah menghabiskan makanannya dan meninggalkan kami berdua: aku dan si laki-laki anti kacang polong. Dulu terdapat aturan untuk menghabiskan makan siang sebelum ambil wudhu untuk salat. Gelagatnya cemas karena menyudutkan kacang polong itu tidak membuatnya hilang dari piring. “Kamu gak suka kacang polong ya?” ujarku. Ia menggeleng sambil memutar-mutar sendok dan garpunya. “Sini buat aku.”. Ia tersenyum dan mengoper kacang polongnya ke atas piringku. Saat piringnya akhirnya kosong, ia tidak langsung pergi ke bu guru untuk menunjukkan bukti makannya habis. Ia tetap duduk di kursi dan menungguku menghabiskan kacang polong beriannya. Baru ketika piringku kosong, ia bangkit dari kursi. Pun aku.
Kaos komik Doraemon
Hampir setiap sore, aku main di depan rumah bersama anak-anak seumuran lainnya. Pilihan permainannya selalu bergantian. Mulai dari bentengan, petak umpet, bulu tangis, bersepeda, engklek, dan masih banyak lagi — ah sial aku ada lupanya juga ternyata. Namun, satu hal lain yang kuingat adalah kaos komik yang dikenakan salah satu kawanku. Kaos ini bukan hanya kaos yang menunjukkan karakter dari komiknya. Bedanya, panel-panel komik itu tercetak di kaosnya. Pertama kali aku melihatnya mengenakan kaos ini, aku memaksanya untuk diam di tempat (padahal umurnya lebih tua). Lalu aku mengelilinginya untuk membaca panel komik yang memutar dari leher depan ke leher belakangnya, hingga berakhir di pinggangnya. Ketika aku selesai baca komik itu, baru kami bermain. Di hari-hari setelahnya, ia tetap memakai kaos itu dan walaupun aku sudah membacanya, aku masih melakukan hal yang sama.
Ayam
Ketika jam sekolah berakhir, kesempatanku dan teman-teman untuk mengobrol tidak berakhir begitu saja. Kami cukup bandel untuk membohongi Facebook dan bilang kalau kami sudah cukup umur untuk punya akun — padahal kami masih anak SD. Di dalam jaringan, aku terkoneksi dengan teman-teman yang biasanya tak tegur sapa di sekolah. Salah satu di antaranya menjadi orang yang sering kusapa secara online di Facebook. Hatiku senang begitu melihat ada lingkaran hijau di samping display picture Spongebob yang dipilihnya. Kami bertukar cerita, sembari di layar utamaku ada game Pet Society dan peliharaanku yang belum juga buang air besar berwarna emas. Di sudut kanan layarku, ia bercerita tentang pengalamannya dikejar-kejar ayam. Aku tertawa.
Dark Souls
Selepas menyelesaikan tugas di malam hari, aku suka membaca. Beberapa kali ditemani seseorang lewat telepon. Aku dan buku-buku distopia. Dia dan permainan-permainannya. Frekuensi kami melakukan ini sepertinya cukup sering — seingatku. Sebab, aku jadi hafal intonasi dan pelafalan EA Sports, it’s in the game. Suara itu jadi sangat familier di telingaku. Maka ketika ia memainkan sebuah permainan baru yang riuhnya tidak seperti FIFA, aku bertanya: “Lagi main apa sih?”. “Dark Souls”, jawabnya. Aku mengangguk sambil mengetik nama game itu di laman pencarian ponsel BlackBerry. Muncul foto-foto cover game tersebut yang memang… gelap. Bagiku menyeramkan. Aku lebih suka membaca buku sambil mendengar dia main FIFA atau Winning Eleven atau Pro Evolution Soccer. Musik game Dark Souls membuatku bergidik. Tapi aku tetap merasa tenang lagi ketika ia mengajakku mengobrol sesekali pada malam-malam itu.
Mungkin aku memang dilahirkan sebagai pengingat yang ulung dan itulah yang membuatku menjadi manusia yang merasa malang. Di tengah orang-orang yang banyak lupanya, aku jadi orang yang rasanya terlalu peduli.