Sitemap

Ibu & Teman-temanku

5 min readApr 26, 2025

--

— Untuk B

Poppy Field (1873) by Claude Monet

“Ibu udah gak tau temen kamu siapa aja.”

Kalimat itu keluar dari mulut ibuku di satu malam setelah berhari-hari aku sering pulang terlampau larut. Dalam pikiranku, hal tersebut masih mengendap hingga aku menulis ini. Ibu mengkhawatirkan jam pulangku yang makin lama makin larut tanpa ia mengetahui aku pergi dengan siapa saja. Ia memang kenal dengan kebanyakan temanku semasa sekolah dan kuliah, tapi selepas aku lulus dari institusi akademik, aku jarang mengenalkan ibu pada mereka.

Kemudian aku teringat dengan salah satu cara orangtua baru mengenalkan kosakata pada anaknya. Berulang-ulang disebut dalam percakapan sehari-hari agar sang anak merekam hal tersebut di otaknya. Belakangan, aku jadi semakin sering menyebutkan nama teman-temanku. Sebelum ibu bilang kalimat keramat itu, aku lebih sering mengelompokkan teman-teman baru berdasarkan kegiatan atau hobi yang menyatukan kami. Misal: teman menulis, teman membaca, teman karaoke, dan lain-lain. Ada kalanya aku kesulitan menjelaskan ketika hendak mencoba kegiatan baru dan berkumpul dengan teman membaca dari kelompok baca yang lain.

“Bukannya kemaren udah sama temen baca?”

“Iya. Tapi yang ini beda lagi.”

Ibu akan mengangguk dan aku akan melengos ke pintu depan karena ojol yang kupesan sudah datang. Sepanjang jalan, aku kembali memikirkan apakah seharusnya mulai kuselipkan nama-nama temanku agar ia mulai mengenal lebih dalam tentang siapa saja orang-orang yang kupedulikan? Sebab, aku juga sudah mulai lebih sering sedih ketika ibu menanyakanku tentang kabar teman-temanku yang lama. Aku tidak punya jawaban yang tepat. Kabar terakhir mereka yang kutahu mungkin tentang status kesarjanaan mereka. Syukur-syukur aku tahu mereka kerja di mana, lanjut master ke mana, atau apakah mereka masih dengan pasangannya yang lama — seringkali tidak.

Pada suatu Selasa aku izin ke ibuku akan pulang malam karena mau bertemu dengan teman menulis dan juga membaca tapi untuk kegiatan lain, yaitu trivia night. Ibu mengernyitkan alis. Kepalanya mengangguk. Mungkin dalam pikirannya, “Lagi?”. Tapi, ada satu nama temanku yang memang sudah pernah menginap di rumah. Jadi, seharusnya ibu merasa tenang-tenang saja.

Ketika tiba di tempat trivia night, ternyata ada beberapa teman lamaku. Mereka lah yang suka ibuku tanyakan dalam obrolan-obrolan makan malam. Mereka yang kabarnya minim kuketahui. Mentok-mentok tentang status kesarjanaannya. Kami tertawa. Sama-sama tidak menyangka akan bertemu di sini. Teman-teman baruku mengamati dari jauh ketika aku sedang temu sapa dengan orang-orang dari masa laluku. Seusai bertukar kabar, aku kembali ke meja.

“Siapa?” ucap salah satu teman baruku.

“Teman lama.”

Muncul rasa ingin cepat pulang untuk segera menceritakan keanehan ini pada ibuku. Tapi justru yang terjadi adalah aku lupa mengabari kalau aku pulang lebih larut dari ekspektasi awal. Pukul 11 malam, aku sudah tahu kalau aku akan mengecewakan ibu.

Ketika bubaran, aku dan teman-teman baruku bergerombol untuk memesan kendaraan. Namun, salah satu teman lamaku justru memanggilku dan mengajak pulang bersama. Rumah kami searah. Jadilah aku mengiyakan. Aku pamit ke teman-temanku yang lain dan masuk ke dalam sedan abu-abu bersama tiga teman lamaku.

Kami banyak bertukar kabar sepanjang jalan pulang. Di tengah-tengah percakapan, aku membalas pesan ibu yang sudah bertanya banyak.

Aku pulang dianter A

Dia memang salah satu orang yang ibuku kenal. Bahkan salah satu yang kurasa juga dianggap seperti anak sendiri pada masanya.

“Nyokap lo masih suka nanyain anak-anak lama?”

Aku tertawa.

“Masih banget — termasuk lo! Gue selalu bingung jawab apa. Iya sih… Masih follow-followan di medsos sama lo dan yang lain. Tapi yaudah gitu. Tau-tauannya cuma dari update medsos atau ya kalo denger kabar dari yang lain. Jadi suka ngerasa guilty karena gak bisa jawab. Nanti gue bilang ke nyokap kalo gue abis ketemu lo.”

Kami tertawa. Aku sampai rumah di atas jam 12 malam. Ibu punya banyak pertanyaan, tapi wajahnya bilang “Besok aja.”. Keesokan harinya, aku menceritakan semuanya. Ibu tertawa dan bilang ingin bertemu dengannya kalau aku pulang diantar dia lagi.

Pada masanya, ibu memang banyak dekat dengan teman-temanku. Biasanya perkenalan mereka dimulai pada hari-hari ambil rapot ke sekolah atau ketika mereka main ke rumah. Ibu termasuk orang tua yang sepertinya ingin punya banyak anak tapi justru dikaruniai hanya aku seorang. Suatu waktu ketika beberapa temanku ulang tahun dan aku tidak memberikan kado, justru ibu yang mengingatkan. “Kamu gak beli kado buat si anu?”. Kadang malah ibu yang membelikan. Ketika ia mengetahui salah satu temanku akan ditinggal keluarganya ke Kamboja, ia juga yang bilang “Kalo weekend mau nginep di rumah, bilang aja ya.” Pernah juga ia mengoordinasikan kejutan ulang tahunku bersama teman-temanku. Sedekat itu ibuku dengan teman-teman lamaku. Sebanyak itu pula yang ia anggap seperti anak sendiri.

Tahun 2023, aku kehilangan Lau, seorang teman baik — yang juga dianggap ibu layaknya anak sendiri. Saat aku memberitahu ibu, aku sesenggukan sambil merebahkan kepalaku di atas pangkuannya. Ia mengelusku dan ikut menangis.

Di hari pemakaman Lau, ibu ikut datang ke kuburan. Ia membiarkanku dengan teman-teman yang lain sepanjang hari. Sesampainya aku di rumah, ibu sedang duduk di meja makan main Candy Crush sambil merokok. Melihatnya duduk di kursi yang pernah juga Lau duduki, membuatku kembali lemas. Aku menangis lagi. Ibu mematikan rokoknya dan kami mengulang adegan kemarin malam di sofa.

Ibu membiarkanku kerja ngamar beberapa hari setelah Lau pergi. Sepertinya ia pun juga tidak tega untuk memarahiku. Atau sepertinya ia pun juga sama-sama sedang berduka.

Aku bukan perempuan paling klenik di rumah. Tapi ketika ibu bilang kalau beberapa hari setelah pemakaman, Lau nyamper ke rumah untuk pamit, aku percaya betul. Pertemanan ini bukan hanya antara aku dan dia, tapi juga antara ibu dan dia.

Baru-baru ini, ibu kembali mengabsen semua teman-temanku yang ia kenal. Aku terharu ia mengingat beberapa hal detail tentang teman-temanku. Seperti “yang rumahnya di Ampera ‘kan?” atau “dia masih di Belanda?” atau “dulu S1-nya Sastra Inggris ‘kan?”. Ia menaruh perhatian juga pada orang-orang yang kupedulikan.

Percakapan kami berlangsung selama empat jam. Aku menumpahkan banyak cerita tentang teman-teman lama dan baru. Malam itu, aku merasa seperti petani yang panen hasil. Setelah semakin sering menyebutkan nama teman-temanku yang baru, ibu sudah mengingat lebih dari lima nama. Lengkap dengan konteks dan hobi mereka. Suatu hari, aku ingin mengajak mereka untuk bertemu.

--

--

Firnita
Firnita

Written by Firnita

usually, i write more than this short bio. say hi through my ig/x/tiktok: @firnnita

No responses yet