Ibu-Ibu di Kantor

Firnita
2 min readJan 28, 2020

Di minggu pertama saya magang, saya baru tahu kalau isi departemen ini kebanyakan orang tua: bapak-bapak dan ibu-ibu. Hal yang kemudian saya sadari di departemen ini lebih banyak perempuannya. Supervisor saya perempuan, seorang Ibu. Beberapa kali ada obrolan tentang mau ajak liburan anak kemana, tadi pagi masak bekal untuk anak, serta tiba-tiba angkat telepon dari daycare. Hampir setiap ada pembicaraan tentang peribu-ibuan saya berusaha menghindar, tapi merasa tidak enak dan tidak sopan. Hingga suatu hari begitu pulang magang saya bertanya pada ibu-ibu yang paling saya hormati: Ibu saya.

“Bu, pas aku masih kecil, Ibu suka ngomongin aku gak di kantor?”

Ibu terlihat setengah berpikir, lalu berkata “Mau ngomongin sama siapa?”

“Ya, ibu-ibu lain,”

Ibu saya tertawa, “Kamu lupa dulu kantor Ibu isinya laki-laki semua?”

Sejak kejadian ini, saya sedikit terpukul membayangkan Ibu yang sudah dari dulu bekerja tapi tidak memiliki teman seperibu-ibuan untuk sekadar curhat di kantor. Ya mungkin tentang saya yang gak berhenti menangis semalaman, atau saya lagi demam, atau saya yang baru bisa lari-lari di taman rumah. Semua percakapan seperti itu tidak dialami oleh Ibu saya dahulu. Melihat ekosistem kantor magang saya yang departemennya didominasi oleh ibu-ibu, memaksa saya untuk mendengarkan curhat-curhat mereka selagi jam makan siang. Cukup aneh juga karena sebagai mahasiswa saya terbiasa berbincang tentang hal-hal yang santai seperti film, musik, buku, atau ngomongin orang. Definisi santai saya dengan para ibu-ibu di kantor jelas berbeda. Bagi mereka jam makan siang atau istirahat atau jam santai, diisi dengan pembicaraan-pembicaraan di luar pekerjaan, dan salah satunya adalah anak.

Jujur, kadang saya bosan mendengar update mereka tentang anak masing-masing. Tentang anaknya yang kok tiba-tiba tidak mau makan cumi lagi, atau anaknya yang selalu mengabsen kalau lewat alat-alat berat, atau biaya daycare yang naik. Namun saya juga mempelajari bahwa untuk menjadi ibu yang bekerja di zaman sekarang ini juga sudah dipermudah. Di komplek perkantoran magang saya ini menyediakan daycare, sehingga para ibu tetap bisa pumping ASI setelah mereka makan siang dengan teman kerjanya. Sedangkan di masa saya kecil dulu, jangankan daycare, ibu-ibu yang bekerja saja saya jarang dengar di masa itu.

Di kantor sekarang saya juga merasakan hangatnya peribu-ibuan terhadap satu sama lain. Saya belajar banyak lewat obrolan-obrolan jam makan siang tentang anak, tentang daycare, tentang ASI, tentang kehamilan, dan sebagainya. Hal yang indah adalah mereka sangat suportif, memberikan alternatif solusi, menceritakan pengalaman anaknya yang serupa, dan sebagainya. Ibu saya tidak mengalami obrolan-obrolan ini di kantor dulu. Satu, karena kantor beliau didominasi laki-laki. Dua, karena dulu ibu yang bekerja belum sebanyak sekarang.

“Dulu susah kalo Ibu mau ngomongin kamu. Gak ada ibu-ibu. Jarang yang punya anak, jarang yang ngerti.”

Sekarang saya sudah masuk di minggu keempat magang. Rasa hormat, kagum, dan salut saya kepada mereka meningkat berkali lipat.

Terima kasih banyak, ibu-ibu — dan Ibu, tentunya.

Originally published at https://www.emntwrk.com/

--

--

Firnita
Firnita

Written by Firnita

usually, i write more than this short bio. say hi through my ig/x/tiktok: @firnnita

No responses yet