Cerita Palsu yang Mungkin Nyata: Kejutan Reuni

Firnita
4 min readNov 16, 2019

--

Harusnya jam tujuh kami sudah berangkat dari rumahnya ke tempat festival musik. Gagal tepat waktu karena dia lupa mencetak tiket yang dikirim lewat email. Katanya sebetulnya bisa kita tunjukkan saja emailnya, lalu discan, tapi aku tidak percaya dan lebih tradisional daripada dia. Printer rumahku tintanya habis. Jadi harus ganti dulu. Beberapa kali ia malah mencetak testpage dengan kotak-kotak hitam dan warna-warna. Ada juga dokumen sebelumnya yang belum tercetak dan baru tercetak ya saat itu. Kami menunggu di depan printer setengah canggung. Aku setengah sebal dan dia setengah merasa bersalah juga.

Kami jadi lebih cair di mobil. Kuputarkan lagu-lagu dari musisi yang hendak kami tonton. Kalau dalam olahraga, ini bagian pemanasannya.

Begitu sampai ada antrian panjang yang sudah membuatku resah. Printan tiket tadi kulipat halus untuk kipas-kipas. Direbut kertasku itu lalu dia yang jadi mengipasiku sampai depan penukaran tiket. Aku memberikan petugasnya kertasku, lalu maju. Dari depan aku melihatnya tidak memberikan kertas tiketnya. Ia malah menunjukkan sesuatu dari telepon genggamnya ke petugas itu. Kemudian ia maju?

“Dibilangin ngeyel,” katanya sembari menunjukkan tampilan tiket elektronik di telepon genggamnya

“Tau gitu gak perlu ngeprint!” kataku.

“Tau gitu gak bakal telat,” katanya.

“Siapa suruh jemputnya lama?” kataku.

“Susah ah ngomong sama lo. Salah melulu gua!” katanya sembari mengacak-acak rambut di kepalaku.

Kami sudah lama tidak bertemu. Teman lama yang modal saling follow di Instagram. Palingan balas-balas instastory, saling komentar. Bahkan aku baru punya lagi nomornya sehari sebelum bertemu ini. Sisanya selama ini hanya lewat chat Instagram. Awalnya aku ragu mengajak dia nonton pertunjukan musik ini, tapi seringkali setiap aku nonton apa dia selalu balas. Basa-basi minta diajak, terus ngobrol sampai malam. Besokannya percakapan kami selesai. Namun, kali ini musisi yang mau ditonton adalah kesukaan kami jaman SD. Mereka reunian, baru ganti vokalis. Begitu ada pengumuman mereka akan tampil, langsung kukirim postingannya ke dia. Langsung pula ia balas chat itu dengan bukti transfer untuk dua tiket.

“Gercep lo! Gue belum beli nih,” kataku waktu itu.

“Beli ke gue aja!” katanya.

“Loh, gue kira itu lo beli dua tiket buat sama siapa gitu,” kataku.

“Ya gue mah jaga-jaga dulu. Siapa tau nanti mau ngajak orang. Kalo berangkat sendiri pun juga gampang nanti tinggal jual lagi aja,” katanya.

“Bibit calo ya ternyata,”

“Kalo gak gitu, lo jadi ga nonton,”

Dia mengirimkan postingan yang menyatakan tiketnya sudah sold out. Jadi aku hanya membalas,

“Hehe, makasih lho,”

Rasanya aneh tapi unik. Aneh dan unik memang semacam sinonim, tapi ada pemaknaan yang berbeda menurutku. Aneh karena bisa-bisanya aku semudah itu mengajak orang yang sudah lama tak berjumpa tapi sekalinya bertemu lagi, kami sudah senyaman itu. Dia mengacak-acak rambutku. Unik karena kita sudah lama tak berjumpa tapi rasanya seperti baru kemarin kita bertemu, padahal sudah lebih dari lima tahun.

Aku juga setengah sembarangan, main menarik tangannya untuk menyelip-selip penonton supaya bisa nonton di barisan depan. Dia juga membiarkan saja.

“Kalau nonton di depan, lo cuma liat musisinya. Kalau nonton di belakang lo bisa liat musisi dan penontonnya,” katanya, sembari meletakkan sikutnya di pundakku.

“Terus kenapa?”, tanyaku.

“Terus lo gak mau liat gerombolan orang nari-nari di bagian agak belakang karena agak lega? Anak-anak pacaran yang sok-sokan gemes gitu? Seru lagi.”

“Oh, oke. Yuk.”

Aku meletakkan kedua tanganku di kedua pundaknya, seperti main ular naga. Kami menyelip lagi hingga agak belakang. Benar saja, kehidupan di belakang lebih hidup. Ada gerombolan pertemanan yang sedang foto-foto. Ada anak-anak yang sepertinya pacaran tapi masih malu-malu. Ada juga bahkan orang tua yang membawa balita yang digendong.

“Nyesel ga?” tanyanya.

Aku menggeleng. Dan tersenyum.

Begitu mulai kami banyak bernyanyi, menari, dan tertawa tentunya. Teringat pertama kali lagu ini muncul. Siapa beli kasetnya, patungan berberapa. Dasar anak SD punya uang jajan kecil. Begitu beli, besokannya dijadwalkan. Hari Senin siapa yang bawa pulang, Selasa beda orang lagi, Rabu kosong, Kamis si dia, begitu terus hingga semua orang yang patungan kebagian mendengar. Kami berdua dulu selalu menjadi orang yang langganan patungan. Makanya kami dekat.

Ada lagu cinta yang dulu kami tak paham. Dulu penuh belagak dan belagu, banyak sok tahu, bilang ini lagu bagus banget. Liriknya manis, apalah itu. Padahal jaman SD naksir siapa saja pun aku belum, selain artis-artis di televisi. Ketika lagu ini dimainkan, dia agak diam pun aku. Kami sama-sama istirahat dari loncat-loncat tiga lagu sebelumnya. Dari intronya kami sudah tahu itu lagu apa. Ini lagu cinta. Ada senyum tipis di bibirnya yang bisa kulihat. Matanya seperti menerawang sesuatu yang aku tak paham. Dan sialnya, ia terlihat sangat manis saat itu. Lengkap dengan suasana ruangan yang mendadak lebih redup, tapi mengapa ia tetap terlihat bercahaya.

“Lagu sotoy kita nih dulu waktu SD,” kataku

“Iya, mana ngerti dulu. Sekarang mah — ”

“belum juga sih,”

Ia merespon jawabanku dengan senyum tipis tadi itu. Hanya saja, kali ini aku melihatnya dari depan, bukan dari samping.

“tapi lo pernah patah hati?” tanyaku.

“Wah, panjang ceritanya, tapi udahlah ini kan lagu cinta bukan lagu patah hati.”

Intronya sengaja lama. Ada monolog-monolog yang diutarakan oleh sang vokalis. Mengantarkan penonton ke suasana yang lebih syahdu, lebih intim, dan lebih tenang. Ia juga mungkin lelah setelah jingkrak-jingkrak di tiga lagu sebelumnya.

“Disini siapa yang jomblo?” tanya sang vokalis.

Kami sama-sama langsung angkat tangan lalu tertawa. Banyak juga orang yang angkat tangan ternyata.

“Tuh, kalo di depan lo ga bakal liat orang jomblo sebanyak ini,” ledeknya.

“Bahas terus,” balasku.

“Disini siapa yang pernah patah hati?” tanya sang vokalis.

Aku memegang tangannya dan mengangkatnya. Untung dia tertawa dan terima-terima saja.

“Siapa yang kesini berharap pulangnya bisa jatuh cinta?” tanya sang vokalis lagi.

Kami sama-sama mengangkat tangan. Kembali tertawa dan mengaminkan doa yang dilantunkan sang vokalis. Hingga akhirnya ia menanyakan pertanyaan terakhir sebelum masuk ke verse pertama,

“Kalau gitu, siapa yang kesini bareng gebetannya?”

Aku melihat di depanku sedikit yang mengangkat tangan. Kurang dari seperempat yang mengaku jomblo di awal tadi. Namun ternyata sosok di sampingku ini juga mengangkat tangan.

“Hehe,”

--

--

Firnita
Firnita

Written by Firnita

usually, i write more than this short bio. say hi through my ig/x/tiktok: @firnnita

No responses yet