Dear Lau,
Negaramu carut marut. Makin banyak orang kepinteran yang memegang kendali. Dan rasanya aku makin kebal digoblok-gobloki. Aku rindu apimu yang memancingku untuk berani jadi bajingan, jadi bangsat, dan jadi keparat karena selama ini aku seringnya jadi orang yang terlampau sopan dan sabar.
Hari ini aku lama menunggu di Juanda. Cuaca Jakarta sepertinya habis hujan lebat sehingga banyak pesawat terpaksa parkir dan menunggu sampai lalu lintas udara lebih aman. Tapi asal kau tahu, Lau. Dua minggu lalu Jakarta juga banyak hujannya dan sepertinya itu ulah manusia dan mesinnya dan kendalinya dan aku kesal sekesal-kesalnya tapi justru yang kurasakan adalah rindu karena kau yang biasa jadi orang pertama untuk memaki mereka. Aku akan membeo dengan tingkat amarah yang serupa. Tadi juga di Juanda aku teringat Oktober beberapa tahun lalu, ketika aku sendirian menunggu pesawat di Ngurah Rai pada suatu Senin saat jam kerja kebayakan orang. Dari kebanyakan kawanku, kamu lah si pengangguran itu. Acaramu sehari-hari adalah berusaha sembuh. Di antaranya palingan kegiatanmu main 24, menyelesaikan paint by numbers, dan membolak-balik halaman buku word search yang kuberikan. Jadi, kutelepon nomormu. Kau mengangkat. Sore itu, kamu di Jatijajar, aku di Ngurah Rai. Di dua zona waktu yang berbeda, kita berbincang tentang hal yang sama. Aku lupa apa saja yang kita bicarakan waktu itu, tapi aku ingat kamu menyuruhku untuk beli Monggo di terminal bandara.
Tiga hari dinas ke Surabaya, aku dipertemukan dengan Pak Supir yang playlist lagu di mobilnya adalah Indo jaman dulu. Dan tentunya salah satu kebanggaan kota ini adalah band kesukaanmu itu. Aku tak tahu ia sengaja atau memang kebetulan lewat, tapi Pak Supir menunjukkan jalan bersejarah untuk para Baladewa.
“Ini SMA komplek, Mba.” ujarnya “Ahmad Dhani sama Ari Lasso lulusan sini.”
Ada rekan kerjaku juga di dalam mobil. Ia manggut-manggut. Aku tentu langsung mengingatmu. Tapi sebelum aku semakin mengingatmu terlalu dalam, terlebih hari ini harusnya aku kerja dan fokus dan profesional dan tidak tenggelam dalam perasaan itu, aku malah membuka telepon genggamku. Tanganku mencari nama seorang kawan yang lahir dan besar di Surabaya juga. Ternyata dia juga lulusan SMA komplek. Tapi Lau, kota ini memang sepertinya milik mereka. Lagu-lagu di mobil Pak Supir tak henti memutarkan lagu Dewa. Satu malam ketika aku dan rekan kerjaku makan di warung belut, ada pigura foto Ari Lasso yang mengacungkan jempol di depan piring kosong meja warung tersebut. Pada pagi kedua aku di Surabaya, ada sekumpulan anak sekolah yang nongkrong di ruang terbuka dan aku salah satunya memainkan intro lagu Kangen. Seketika aku seperti kembali ke 102 dan malam-malam kita hampir menyerah untuk belajar. Kamu akan mengambil gitarmu yang biasa kamu letakkan di samping lemari dan mulai memetik senar-senar itu. Setelah Kangen, kamu juga suka memainkan lagu Bimbang.
Oh ya, tentang AADC, film ini mau versi terbarunya. Oktober nanti rilis. Aku kurang tau apakah lokasi shooting-nya kembali menggunakan sekolahmu.
Ngomong-ngomong tentang sekolah, tempatmu belajar bertahun-tahun itu sedang jadi sorotan. Di tengah kecarutmarutan negaramu ini, sekolahmu lah yang berani ambil sikap dan mengeluarkan pernyataan luar biasa. Banyak alumni yang membagikan ulang pernyataan itu. Banyak juga lulusan sekolah lain yang salut dengan sikap sekolahmu. Aku membaca kata-kata yang tertulis dan berhenti untuk membaca lagi setiap ada orang berbeda yang membagikannya di media sosial. Tapi dari semua orang, tak satupun berasal dari akunmu.
Dua tahun kamu cabut, sudah ada puluhan orang baru kutambahkan jadi temanku tapi masih belum ada satupun perkenalan yang menghubungkan kita berdua. Entah. Mungkin ini cara Tuhanku — atau Tuhanmu — menyatakan kalau cerita kita memang sudah selesai.
Lima bulan yang lalu aku mendengar kabar kurang baik dari seorang kawan. Tubuhnya juga dihuni sel-sel brengsek yang membuatmu tak berdaya itu. Beberapa kali kawanku yang lain mengajak untuk menjenguk. Tapi aku pengecut. Aku belum berani lagi menghadapi cerita seperti itu. Kawan-kawanku itu menghargai keputusanku untuk memberi jarak — if you read this, thank you. Tapi Lau, lagi-lagi aku (dan kawan-kawanku) kehilangan sosok yang baik. Dua minggu yang lalu aku kembali ke Siloam Bendungan Hilir, setelah dua tahun lebih aku tidak ke sana. Ketika kudengar kabar kalau kawanku juga kalah, aku merasa lemah. Tapi tetap sembari mandi dan berangkat dan turun di MRT Bendungan Hilir dan tubuhku seperti mengingat banyak hal. Aku jalan kaki dari stasiun ke rumah sakit. Aku mengingat bau kali di bawah jembatan itu. Aku mengingat letak jalur pejalan kaki. Ketika masuk rumah sakit, aku hampir jalan ke bagian lift belakang, tapi langsung memutarbalikkan badan untuk menunggu di lift depan. Hampir saja tombol yang kupencet adalah angka 22 tapi aku ingat kalau dua minggu yang lalu tujuanku adalah lantai 15. Sudah ada beberapa kawanku di sana. Mereka yang pemberani. Mereka yang tegar tapi juga yang sudah menjatuhkan air matanya, menenggelamkan kepalanya di lekuk antara leher dan pundakku. Kami berpelukan erat — dan lama. Di tengah duka itu, bisa-bisanya beberapa dari mereka sempat bertanya “Tapi kamu gapapa ke sini?”. Bangsaaaaaat, beruntung sekali aku punya kawan-kawan seperhatian itu.
“Gapapa selama ada kalian.”
Bagiku Bendungan Hilir adalah daerah yang juga penuh kenangan tentangmu. Beberapa bulan lalu aku dan kawanku jalan kaki ke Kuningan City dari MRT Bendungan Hilir. Ketika kami melintasi gang Daitokyo Sakaba, aku menoleh ke arah kiri. Mengingat kos-kosanmu di dalam sana berapa ratus meter dari sini. Mengingat sore-sore kita makan Sekfan di kosanmu (Tailah sekarang Sekfan udah gak ada— tapi untung Hokben masih ada!). Kemudian saat aku kembali ke MRT Bendungan Hilir, kuhabiskan setengah jam duduk di peron hanya untuk menangis. Sama halnya dengan saat-saat sepulang aku mengunjungimu di Siloam. Kecuali satu kali. Waktu itu rencanaku setelah dari tempatmu adalah menonton film dengan ~laki-laki~. Siang itu kamu justru setengah mengusirku.
“Sana balik, nanti telat. Biasanya lo ngedumel kalo ada ~laki~ yang telat dateng janjian. Jangan sampe lo yang jadi kayak mereka.”
“Sialan lo.”
Kamu tertawa — tapi juga tau kalau maksudku bukan memakimu. Kamu hanya terlalu tahu banyak tentangku. Tapi satu yang kamu tak akan pernah tau. Bagaimana tingkahku jika aku memiliki pasangan lagi. Aku juga masih belum tau. Tapi satu yang hanya kamu yang tau — dan sekarang termasuk siapapun yang membaca tulisan ini sampai kalimat ini. Cuma kamu yang tahu seberapa tolol dan bodohnya aku di pagi hari setelah semalaman babak belur digerayangi mimpi buruk. Kamu yang menawarkanku untuk tidak udah berangkat ke kampus. Kamu yang tetap sudi menungguku meredakan tangis di pagi hari. Kamu yang mengayuh sepeda lebih lamban karena pada pagi-pagi itu kayuhanku juga lebih lamban dari biasanya. Berkali-kali. Berkali-kali aku babak belur karena mimpi itu dan kamu tetap sabar dan tetap menuntunku untuk bangun. Pernah juga aku bertanya apakah kamu lelah mendengarkan ceritaku yang itu lagi itu lagi. Kamu tertawa dan menjelaskan panjang lebar kalau kamu juga punya cerita yang itu lagi itu lagi. Aku setuju. Benar saja, aku tidak lelah mendengar ceritamu yang juga itu lagi itu lagi. Sepertinya memang setiap orang pasti punya cerita yang seperti itu. Tapi untungnya juga, Lau, sudah jarang mimpi buruk itu muncul. Karena sekarang mimpi burukku berubah jadi kehilanganmu — jyaaah.
Aku tau pada masa itu kita memiliki mimpi buruk yang serupa. Dan kita sama-sama saling menjaga ketika salah satu dari kita oleng karena hal tersebut. Aku ingat ketika kita sudah tidak tinggal bersama. Kamu seperti kembali melihat bayang-bayangnya dan merasa sesak tiba-tiba.
Bisa call gak?
Gue ada meeting jam 1.
Gapapa plis bentar aja.
Oke. 8 menit ya.
Aku mengangkat teleponmu dan suaramu sudah pecah. Kamu sesenggukan, tapi aku membiarkanmu mengatakan apa yang ingin kamu katakan. Tidak banyak informasi yang bisa kupecahkan saat itu juga tapi tebakanku tangis ini lagi-lagi karenanya. Beberapa menit sebelum jam 1, aku bilang padamu “Sorry banget, tiga menit lagi.”
“Sialan lo.”
Kita tertawa. Suaramu sudah lebih jelas. Kamu mulai mengurai cerita dan perasaanmu. Aku mendengarkan. Satu menit sebelum jam satu, kamu mengucapkan terima kasih dan aku memasukkan link Google Meet siang itu. Telepon selesai.
Beberapa bulan setelah kamu cabut, aku melihat satu video wawancara seorang penulis yang menceritakan tentang makna delapan menit dalam pertemanan. Bagaimana seseorang hanya butuh waktu 8 menit untuk merasa tidak kesepian jika ditemani orang lain. Air mataku jatuh setelah video itu terputar. Aku berhenti scrolling. Video itu sepertinya terputar lebih dari lima kali sembari aku mengingat momen 8 menit yang kita punya waktu itu.
Kita memang tidak hanya punya 8 menit itu, Lau. Masih ada banyak menit yang kita habiskan mengobrol di telepon. Kadang kamu sembari sikat gigi, aku sembari cuci muka. Kadang ada Den juga. Kadang sambil main Wikipedia Speed Run. Kadang kamu menemani aku yang susah tidur. Dan semua kadang itu menjadi sering. Dan sering itu menjadi tawa yang terlampau keras. Dan seringnya juga mengundang ibuku mengetuk pintu kamar, lalu bilang “Kamu pasti lagi telepon sama Lau.” Kamu langsung berteriak, menyapa ibuku. Aku langsung menghadapkan kamera laptop/HP-ku ke wajahnya. Kalian mengobrol sebentar, lalu ibu membiarkanku lanjut bersamamu. Sejak kamu cabut, ada masanya ibu tidak mendengarku tertawa selepas itu di malam hari. Sekalinya hal itu terjadi, keesokan paginya ia bilang “Ibu udah lama gak denger kamu ketawa kayak semalem.”. Sudahkah aku menggantikanmu, Lau? Di satu sisi aku merasa bersyukur sebab artinya kebahagiaan seperti itu kembali kudapatkan lagi. Tapi di sisi lain aku juga merasa bersalah. Entahlah.
Masalahnya kalau dipikir-pikir, aku memang sering juga mencoba melempar lelucon yang biasa kita bagi dulu ke pertemananku sekarang. Mungkin itu upayaku untuk tetap menghadirkanmu dalam keseharianku. Contohnya candaanku menerjemahkan lagu Indo jadul ke Bahasa Inggris. Betapa fasihnya dulu kita bernyanyi Cinta Ini Membunuhku dalam bahasa Inggris. Ada satu kawanku yang tiba-tiba bernyanyi “You make me messy”, aku membelalak — tapi tidak bilang apa-apa. Pernah juga kucoba bercanda dengan nyanyian “Mother mother father father who have a son or a daughter tell me tell me”. Beberapa tertawa — tapi mereka tidak tahu lelucon itu pertama kali kita pecahkan bersama.
Ngomong-ngomong lelucon musik Indo, .Feast minggu lalu manggung membawakan lagu-lagu Barasuara. Kamu pasti bete karena kamu tidak pernah suka dengan Baskara: apa sih wordfangs wordfangs itu. Tapi kamu juga tidak pernah meledekku kalau lagi pakai kaos Hindia. Oke, balik lagi ke panggung mereka. Baskara menggunakan batik. Awan menggunakan kaos dengan tulisan Kurang Lincah. Tiga pakaian yang sangat dekat dengan Iga dan Gesit. Ketika melihat rentetan IG story update mereka, aku tidak tahu siapa kawanku yang cukup kedaleman terhadap Barasuara untuk bisa sama-sama menertawakan gimmick .Feast yang detail itu. Biasanya juga kalau kita sudah mulai membicarakan dua band ini, kamu akan mulai cerita tentang lore sekolahmu dan sekolah dua huruf. Kamu keluarkan semua nama-nama all star yang merupakan kakak kelasmu. Sekolahmu tidak kalah keren dibandingkan SMA komplek di Surabaya yang menghasilkan band legendaris itu. Tapi mereka semua bukan kamu. Mereka bukan sosok yang nyata bagiku. Mereka bukan orang-orang yang hadir secara utuh di keseharianku. Kehadiran mereka tergolong semu — sebatas orang-orang di layar telepon genggam. Aku tidak punya memori bersama mereka. Yang kumiliki adalah momen-momen legendaris bersamamu di mana mereka terlibat sekadar sebagai latar dalam obrolan-obrolan kita.
Sudah dua tahun kamu cabut, Lau. Semalaman setelah aku mendengar kabar itu, aku tentunya sulit tidur dan berakhir menata sebuah playlist berisikan lagu-lagu yang selamanya jadi kenangan kita bersama. Semalaman aku mendengarkan lagu-lagu itu sambil menangis dan berharap aku akan tetap bisa mendengar suaramu di tengah lagu-lagu tersebut.
Kita terlalu sering menyanyikan lagu-lagu itu bersama-sama. Menjadikannya candaan, menjadikannya cerita, menjadikannya bagian dari keseharian. Tapi, Lau, pada malam itu belum aku masukkan satu pun lagu Barasuara. Sebab aku belum berani lagi mendengarkan lagu mereka secara utuh untuk memilah-milah mana yang paling lekat rasaku tentangmu. Termasuk single terbaru mereka: Terbuang Dalam Waktu. Butuh waktu satu minggu lebih untukku memupuk keberanian mendengarkan lagu-lagu mereka lagi, termasuk yang baru. Pertama kali mendengar Terbuang Dalam Waktu, aku amburadul. Sejadi-jadinya. Dan memutuskan untuk menambahkan lagu itu ke dalam playlist tentangmu — sekali pun kamu tidak akan pernah mendengar lagu itu. Dua tahun yang lalu aku tidak tahu kalau lagu tersebut akan dijadikan soundtrack film SORE Istri dari Masa Depan. Aku tidak punya ramalan kalau lagu ini akan jadi milik banyak orang. Dua tahun yang lalu aku tidak bisa membayangkan betapa khidmatnya lagu ini jika dibawakan secara langsung. Bulan lalu aku merasakannya. Mendengar lagu itu dibawakan secara langsung. Di bawah langit karang tengah. Dalam diam aku meneteskan air mata di samping seorang kawan. Aku merasa malu walaupun kami juga sudah kenal lama.
Kenangan tentangmu mengalir di kepalaku dengan sangat mudah. Mengingatmu bukanlah sebuah pekerjaan, tapi justru laku keseharianku. Aku membawamu di dalam hati, aku mencarimu di banyak orang, dan ketika aku menemukan bagian-bagian itu, aku bisa merasa lebih tenang. Inginnya, aku tidak perlu banyak usaha untuk mengingatmu. Maunya aku akan selalu bisa mengingatmu. Tapi jika memang waktu akan perlahan menyisihkan hal-hal tentangmu dari ingatanku, tulisan ini berlaku menjadi arsip. Tulisan ini bentuk penolakanku untuk melupakanmu.
Arsip lainnya:
- Having a roomate (2019)
- Beautiful World, Here You Are (2021)
- Nearly everything I know about love, I’ve learnt it from my long-term friendships with women (2023)
- Grief Starts Before Things End (2023)
- Tata Cara Menulis Eulogi (2023)
- we no longer share the same room, but there’s a window that reminds me of you (2023)
- Dear Lau, (2023)
- The Aisle of Memory (2024)
- Setahun yang Rentan (2024)
- Tinggal Bersama/Tinggal Sendiri (2024)
- you’re my best friend in every universe (2024)
- Mengenangmu Lewat Barasuara (2025)
