Dari Bangku Penonton: Musikal Petualangan Sherina

Firnita
4 min readJul 7, 2022

Seorang anak perempuan menyandarkan dirinya pada lengan ayahnya yang duduk di sampingnya. Empat orang teman yang duduk terpisah, tetap asik mengobrol. Petugas mondar-mandir mengantar penonton ke kursi, sesekali membawa kertas dengan daftar nama undangan dan goodie bag. Aku memerhatikan hal-hal yang biasa saja ketika ruangan itu masih remang. Satu hal yang mencuri perhatianku adalah bola disko berlakban yang menggantung. Apa relevansi bola disko pada petualangan sore ini? Pikirku.

Anak perempuan itu kemudian melambaikan tangannya pada sisi kanan kursi. Setelah kutelaah, ia duduk terpisah dengan ibu dan saudaranya. Ia duduk di sisi kiri dengan ayahnya, sedangkan sang ibu dan saudaranya duduk pada sisi kanan. Walau terpisah, hangatnya interaksi keluarga yang terpisah jarak itu membuatku tersenyum di balik masker.

“Orang yang ke sini tuh kalo nggak seumur kita, kayaknya lebih tua dari kita dan udah bawa anak ya.” Ucap seorang teman yang duduk di samping kiriku.

Kita sama-sama berasumsi setiap orang tua yang hadir sore ini ingin menurunkan warisan masa kecilnya pada anak-anaknya. Beberapa kali, kulihat seorang ibu yang menggandeng anaknya saat hendak menuju kursi di lantai dasar. Bahkan, saat aku mengantre merchandise, di depanku ada keluarga beranak dua. Aku ingat ibunya bertanya “Kakak mau apa?”, kemudian si Kakak menunjuk kaos putih. Petugas membungkus kaos tersebut dan si Kakak jinjit-jinjit mengambil tas ungu yang hendak diberikan petugas. Seketika aku teringat orang tuaku yang juga pernah membelikanku kaos Petualangan Sherina semasa kecil. Suatu hari, cerita ini akan menjadi satu lingkaran penuh, pikirku.

Ruangan masih belum gelap, tapi seisinya sudah diajak pemanasan dengan instrumen dan melodi yang familier. Walau aku duduk tenang, hatiku berguncang. Ia seperti sedang dilanda ombak perasaan yang terlalu intens sedangkan ia tidak pernah belajar berselancar. Aku kembali memerhatikan bola disko tadi, lalu mencuri dengar salah satu perkataan empat teman itu.

“Kalau nanti ada musikal lagi, kita duduknya di lantai bawah ya. Kerja yang bener biar punya tabungan nonton musikal.”

Belakangan ini, aku juga sedang linglung dengan pekerjaan. Mendengar omongan itu, aku jadi sedikit menyadari kalau salah satu tujuanku bekerja adalah membeli pengalaman-pengalaman seperti ini. Penghiburan. Nostalgia. Penyegaran jiwa. Yang tentunya, berlaku juga untuk para orang tua tadi. Mereka mungkin juga bekerja untuk menurunkan warisan berupa pengalaman yang tentu saja tidak bersifat material — ya walaupun warisan tersebut dibeli dengan uang juga.

Mengapa bintang bersinar? Mengapa air mengalir?” Anak perempuan tadi bernyanyi dengan Ayahnya. Setidaknya, itu asumsiku.

Mereka saling berhadapan dan aku bisa melihat jelas masker mereka yang bergerak. Upaya yang dilakukan penyelenggara acara benar-benar membantu para orang tua dan anak yang mudah bosan. Dengan memutar instrumen lagu ini, mereka jadi punya kesempatan pemanasan bernyanyi sebelum pertunjukkan dimulai. Mereka seakan-akan hidup di dalam lingkarannya sendiri selagi empat teman tadi mulai resah karena pertunjukkan tidak kunjung dimulai. Begitu pula, aku.

Seketika ruangan gelap. Seketika juga indera pendengaranku dipenuhi sorak sorai para jagoan yang sudah menunggu. Seketika pula, mataku jadi susah melihat jelas — bukan karena belum kontrol kacamata, atau ruangan gelap. Buliran haru mulai membasahi kelopak mataku begitu sorak sorai bercampur dengan musik yang ternyata merangkum semua lagu di babak pertama. Diiringi lagu tanpa lirik, kepalaku sudah ikut bernyanyi. Sesekali terlintas teman-temanku yang juga para jagoan. Beberapa di antaranya sudah menonton pada Jumat. Beberapa di antaranya akan menonton malam nanti dan esok hari. Beberapa di antaranya kehabisan tiket. Beberapa di antara mereka sedang berjuang menjadi jagoan yang mengupayakan kesehatan masing-masing. Betapa bahagianya punya banyak teman.

Ternyata begitu rasanya menunggu. Bukan hanya aku yang menanti. Aku yakin para jagoan di panggung yang luar biasa jagonya pun sudah menanti momen ini sejak lama. Beberapa di antaranya bahkan juga merasakan menonton karya ini dari rental VCD. Aku percaya para jagoan di balik panggung juga sama-sama mengidam-idamkan tiga hari ini setelah tertunda tahun lalu. Walau penantian ini panjang, tapi aku yakin penampilan ini membayar rindu tentang berbagai aspek. Rindu teman. Rindu masa kecil. Rindu manggung. Rindu bernyanyi. Rindu menari. Rindu teater. Rindu tepuk tangan. Rindu banyak, tapi juga rindu yang terobati.

Pertunjukan berlangsung. Untuk bagian ini, aku percaya sudah banyak yang meliput. Jadi kuharap tidak apa-apa jika kulongkap ke bagian memahami fungsi lampu disko.

Ooh… Jadi itu kenapa ada lampu disko! Pikirku.

Dalam sebuah adegan, lampu sorot berwarna putih menyinari lampu disko yang kemudian berputar. Ruangan yang gelap menjadi lebih terang karena tercipta ilusi bintang-bintang. Pada saat itu, air mata kembali menguasai diriku. Sialannya, keindahan ilusi bintang-bintang ini berulang di akhir pertunjukkan. Semua jagoan di panggung bernyanyi di bawah bintang-bintang refleksi dari lampu disko tersebut. Aku ikut bernyanyi. Banyak orang ikut bernyanyi. Aku tidak sungkan berdiri dari kursi dan tepuk tangan ketika pertunjukkan usai. Sore menjelang malam itu merupakan pengalaman yang menakjubkan dan begitu magis. Walau hanya duduk di kursi, seluruh energi dan antusiasme tersampaikan dengan baik.

Keluar dari Teater Jakarta, aku merasa penuh. Aku yakin betul perasaan ini bisa awet setidaknya sampai hari ketika aku harus kembali KERJA! KERJA! KI TA BE KER JA!

Aku pulang membawa memori baru. Otakku juga mencatat hal penting yang kembali menyalakan semangat dalam diri. Sejujurnya aku lupa kalimat verbatim yang diucapkan pendiri Jakarta Movin, tapi intinya…

“Aku yakin di sini ada banyak calon pekerja industri kreatif yang akan berkarya. Calon penulis. Calon penyanyi. Calon sutradara. Calon aktor. Ini waktunya kalian untuk wujudin impian itu.”

Hidungku kembali menarik napas panjang. Sekali pun sudah menerbitkan dua buku, rasanya impian-impian kreatifku akan terus ada. Tentunya akan bertambah atau berubah. Tapi, selama dua jam lebih menonton pertunjukkan tersebut, ada bagian dari diriku yang mulai berbisik lagi “yuk bisa yuk”.

Bagiku, pertunjukkan ini bukan hanya pertunjukkan. Ia juga penyambung semangat untuk terus bermimpi, untuk terus berkarya. Semoga kelak dari bangku-bangku lainnya, aku terus bisa mendapatkan energi serupa.

--

--

Firnita

usually, i write more than this short bio. say hi through my ig/tw: @firnnita