Cerita Palsu yang Mungkin Nyata: Memelihara Kepik

Firnita
3 min readNov 22, 2019

Jarang-jarang kita menemukan kepik. Tidak seperti kucing atau anjing. Tidak seperti nyamuk atau lalat. Begitu pula semut atau cicak. Jadi sekalinya ada kepik di dalam lokermu, yang entah bagaimana cara masuknya, kau langsung menjemputnya di telunjukmu.

“Ada kepik,” katamu.

Wajahmu sumringah. Matamu antusias. Tangan kirimu meraih tangan kananku dan menyambungkan telunjuk satu sama lain.

Kepik itu mendadak jadi makhluk magis yang menyita seluruh perhatianku. Kita sedang di lorong sekolah, berdiri di depan lokermu. Beberapa teman kita sempat lewat juga tapi tidak kita gubris hingga kepik itu sampai di telunjukku.

Kemudian bel masuk berbunyi.

“Titip,” katamu.

Kita beda kelas, tapi untungnya aku kelas pertama bukan olahraga. Selasa pagi aku belajar Bahasa Indonesia. Selama pelajaran, sang guru memang lebih suka seperti mendongeng. Ia cerita banyak tentang pengalamannya daripada belajar titik, koma, dan kerabatnya. Kadang ia suka bawa gitar ke kelas, memperdengarkan musikalisasi puisi yang dulu menjadi lagu kebangsaannya semasa mahasiswa. Termasuk hari ini. Sebelum ia banyak nyanyi, ia suruh kami buat paragraf deskriptif dengan kalimat utama di awal dan di akhir. Kami sedang belajar tentang induktif deduktif. Ia memberi waktu lima belas menit untuk kami mengarang.

Aku menapakkan tangan kiriku di meja, membiarkan kepik berjalan-jalan di luar area tanganku. Selagi aku menulis, saking fokusnya dan ingin cepat selesai aku lupa memerhatikannya.

“Ada kepik,” ujar kawanku dari tempatnya.

Si kepik sudah main-main ke pulau seberang. Entah sudah berapa meja yang ia lompati, entah berapa ubin yang sudah ia lewati. Beberapa orang yang sudah selesai menulis paragraf deskripsinya beranjak dari kursinya masing-masing dan berkumpul di meja si kepik sedang nongkrong. Mereka belagak jadi arsitek semua. Buat jembatan dari jari masing-masing. Rebutan memanggil-manggil si kepik dengan bahasa yang belum tentu dia pahami.

“Sini dong, ayo ke sini,”

“Eh belok, belok, belok,”

“Yah kok kesana?”

Aku yang belum selesai menulis hanya geleng-geleng. Senyum tipis, memikirkanmu kalau saja kau melihat keramaian ini di kelas. Sedih juga, kau tidak menjadi bagian kesenangan ini.

Si kepik bikin happy, bikin senang, bikin riang

Si kepik bikin happy, bikin senang, bikin riang

Sang guru mulai main-main dengan gitarnya, bikin lagu untuk si kepik. Liriknya yang sederhana dan repetitif mulai diikuti murid sekelas lainnya.

Segera kukumpulkan tugasku, bodo amat kalau gak bagus susunan paragrafnya yang penting aku jadi bagian dari kesenangan ini. Ada teman-teman yang duduk di dekat sang guru, nyanyi ramai-ramai. Ada yang duduk di meja dan menjadikan meja sebagai cajon. Ada juga yang langsung ambil gitarnya sendiri di pojok kelas. Si kepik dijadikan perayaan kita pagi-pagi. Ia kita rawat karena ia membahagiakan.

“Tadi dia udah lewat tanganku!”, ujar seseorang.

“Ih gimana caranya?” tanya yang lain.

Ada rasa iri yang unik pada siapa-siapa yang telunjuknya sudah dijadikan jalan si kepik lewat. Teman-teman yang belum ditapaki si kepik masih mengantri, menyodorkan telunjuknya.

“Mending kita duduk nyamping, terus satuin telunjuk dan bikin jembatan panjang. Jadi si kepik keliling kelas,” seseorang memberi saran.

Seisi kelas langsung bergerak tapi rapi. Dan si kepik betulan jalan dari telunjuk ke telunjuk. Semua senang, semua riang.

“Tugas sudah dikumpul semua?” tanya sang guru.

“Sudah!” serentak semua menjawab.

“Oke, terima kasih untuk hari ini. Assalamualaikum,”

Sang guru keluar kelas karena jamnya memang sudah usai juga. Namun, seperti yang sudah kubilang, si kepik adalah makhluk magis yang menyita perhatian kita semua. Hanya beberapa orang yang langsung keluar kelas karena ingin jajan atau main bola. Sisanya masih di kelas, main dengan si kepik.

Seseorang menepuk pundakku. Ternyata kau.

“Mana?” tanyamu.

Aku menunjuk si kepik yang masih jalan-jalan di telunjuk orang lain. Kau tertawa kemudian menghampiri si kepik. Menyambung telunjukmu dengan telunjuk orang lain yang sedang dijajaki si kepik.

“Mau gua ajak main bola nih,” katamu.

Si kepik sudah ada di tangan kirimu. Kau menggandeng tanganku dengan tangan kananmu.

“Yuk,”

--

--

Firnita
Firnita

Written by Firnita

usually, i write more than this short bio. say hi through my ig/x/tiktok: @firnnita

No responses yet