Seorang laki-laki memiliki cita-cita melihat Planet Mars dengan mata telanjang, tapi ia bekerja di kota Jakarta. Rasanya sulit memadamkan polusi cahaya di malam hari demi mengabulkan cita-citanya yang terlalu tinggi. Daerah rumahnya tergolong gelap jika dibandingkan dengan polusi cahaya malam sepanjang Jalan Sudirman. Kadang ia suka naik genteng tengah malam. Siapa tahu ia beruntung. Siapa tahu Mars malam itu memutuskan untuk tidak malu-malu menampakkan diri.
“Aku mau deh ngeliat Planet Mars,” kata laki-laki itu.
“Nonton aja The Martian,” kata kekasihnya, pada saat itu.
“Yee, aku kan mau liat Planet Mars gara-gara nonton The Martian,”
“Oh,”
Respon yang irit. Laki-laki itu berasumsi kekasihnya tidak menganggapnya serius. Tidak ada pertanyaan lanjutan. Percakapan dengan instan beralih menjadi beli kado apa untuk teman mereka yang akan ulang tahun minggu depan.
Di kios koran dan majalah pagi ini banyak yang memberitakan bahwa akan ada beberapa planet yang bisa dilihat dengan mata telanjang minggu depan. Termasuk Mars. Ada satu koran yang membahas tentang terakhir kali planet lain bisa dilihat dengan mata telanjang. Ada satu majalah yang memberikan tips untuk bisa optimal melihat planet di langit. Salah satunya adalah mematikan seluruh lampu di daerah setempat, menghindari polusi cahaya.
Seorang laki-laki itu senang bukan main. Di kantor, ia sempat mencetuskan headline koran dan majalah pagi ini ke beberapa rekan kerjanya.
“Iya tuh, adek gue tadi pagi ribut,” kata seorang rekan setim.
“Lagian buat apa sih? Kan kalo mau liat planet tinggal search aja di Google. Buka gambar. Keliatan kan itu planet apa?” tanya seorang manajer.
“Beda dong, Pak. Kalau lihat langsung tuh yang dilihat beserta langit dan bintang-bintangnya. Ada sesuatu yang sebetulnya dinamis dari kejauhan. Di gambar kan itu dijepret dalam waktu sepersekian detik. Hanya kondisi di saat itu doang yang kecapture. Kalau lihat langsung tuh — “ kata seorang laki-laki itu.
“Magis,” potong seorang perempuan.
Mereka jadi saling tatap. Bertukar senyum.
Sehari sebelum tanggal perhitungan Mars akan terlihat di langit bumi, seorang laki-laki itu mengajak perempuan magis tersebut untuk nonton Mars bersama. Entah dimana, belum tahu. Seharian itu mereka sama-sama mencari informasi di media sosial, barangkali ada komunitas yang mengadakan acara, atau menyediakan lapak untuk nonton langit bersamaan.
Seorang perempuan rekan kerja itu akhirnya menemukan sebuah tempat untuk besok menyaksikan mars. Diberitahukan berita itu kepada si laki-laki.
Di esok hari mereka sudah siap pulang cepat. Begitu keluar dari kantor, mereka langsung naik MRT, lanjut naik TransJakarta, dan jalan kaki hingga ke tempat pengadaan acara. Di lapangan itu sudah tergolong ramai. Banyak orang yang menggelar koran sebagai alas duduknya di rumput. Mereka berdua kurang berpikir panjang, tapi tak peduli kalau celana mereka kotor. Yang penting, melihat mars.
Mereka menghabiskan waktu dengan mengobrol. Saling tanya tentang Mars. Bertukar trivia, mengedukasi satu sama lain, melengkapi informasi yang terlewat tentang Mars. Ternyata, perempuan ini memiliki kakak yang dulunya kuliah di jurusan astronomi. Jadi ia cukup teredukasi tentang pengetahuan umum planet dan pergalaksian.
Seorang laki-laki tiba-tiba berhenti meladeni cerita si perempuan. Matanya mempertajam pandangannya pada satu sosok yang sedang jalan sendirian. Perempuan lain yang sangat familiar. Begitu perempuan itu jalan agak mendekat, terjadilah interaksi.
“Loh, lo ngapain disini? Sini aja duduk bareng,” ucap seorang laki-laki tersebut saat melihat mantan kekasihnya yang ternyata hadir di acara itu.
“Minggu lalu rame di berita. Mars mau nongol. Penasaran aja,” balas sang mantan kekasih.
Laki-laki itu dan perempuan rekan kerjanya sempat saling tengok. Kikuk, harus dikenalkan atau tidak. Bingung, harus langsung mengenalkan diri sendiri atau tidak. Hingga akhirnya,
“Hai, gue Grace,” kata sang mantan kekasih.
“Oh, gue Rena,” balas si perempuan rekan kerja, “Udah kenal lama sama Bagas?”
Grace mengangguk sembari menatap Bagas. Menunggu akan dikenalkan sebagai apa.
“Yaa, dulu sempet lama lah kita,” kata Bagas.
Rena mendadak kikuk. Ia mundur sedikit. Seakan-akan memberikan Bagas dan Grace ruang untuk bersama.
Malam ini mereka nonton Mars bersama. Mata Bagas berbinar dan senyumnya merekah. Rena tidak banyak bicara, tapi ia juga terlihat puas. Grace meneteskan air mata. Ia tidak menyangka menonton mars dengan mata telanjang terasa sangat surealis. Dulu ia menghabiskan banyak waktu mendengar Bagas bercerita banyak tentang mars. Awal mulanya karena film The Martian. Bagas mulai jatuh cinta dengan Mars. Setiap kali ada berita baik tentang mars, selalu ia bagi ke Grace, sembari berkata “Buat kamu yang magis Hogwarts, buat aku yang magis Mars,”. Kemudian Bagas menemukan foto masa kecilnya mengenakan kostum astronot. Dikaitkanlah foto itu dengan cita-citanya. Mungkin sebetulnya dari dulu aku memang harusnya jadi astronot, biar bisa langsung ke Mars. Ditambah lagi sempat ramai tentang berita bahwa ada kemungkinan mars bisa dihuni. Banyak sekali fakta-fakta kecil tentang Mars yang Grace ketahui karena Bagas. Sampai akhirnya, supply fakta harian itu berhenti karena mereka memutuskan untuk menyudahi hubungan mereka. Bukan gara-gara Mars, bukan pula gara-gara mereka berasal dari dua planet yang berbeda: Mars dan Venus. Lebih kepada mereka mempercayai Hal yang berbeda.
“Loh, nangis,” ledek Bagas. Grace tertangkap basah matanya.
Ia tersenyum, dan berkata, “Hogwarts lo nih, Gas,”
Bagas menarik napas panjang. Ia raih tangan Grace untuk digenggam. Diusap-usap pangkal jari telunjuk Grace dengan jempol Bagas. Pelan-pelan, berulang kali. Rena yang daritadi tidak banyak bicara, akhirnya angkat suara.
“Magis ya,”
Grace dan Bagas mengangguk, masih menatap mars di langit. Kemudian mereka setengah menunduk, memperhatikan tangan mereka yang sedang bersentuhan. Di saat itu Bagas baru menyadari, pada jari manis Grace terdapat cincin.