Sepasang kekasih sedang berada di parkiran mobil. Mereka habis bubaran nonton film Knives Out. Poppy melingkarkan tangannya pada lengan kanan Hans. Tak lama, Hans melepaskan lengannya. Ia meminta kunci mobil yang ia titipkan pada tas Poppy. Sembari setengah mengantuk, Poppy mencari kunci mobil Hans di antara semua barang-barang di dalam tasnya yang tidak memiliki kompartemen. Hans menarik Poppy yang tertinggal, ia mencari kuncinya sembari berdiri di tengah jalan dan sudah diklakson orang.
“Kamu ini,” kata Hans, sedikit marah.
“Ya susah, bentar,” kata Poppy.
Hans mengeluarkan telepon genggamnya dan menyalakan lampu senter. Poppy masih merogoh-rogoh isi tasnya.
“Aduh, parfumku yang kamu kasih tumpah!” kata Poppy.
“Yaudah, botolnya keluarin aja. Biar lebih gampang cari kuncinya,” kata Hans, pragmatis.
“Kamu gak marah parfumnya tumpah?” tanya Poppy.
“Ya terus mau gimana? Udah tumpah juga kan?” jawab Hans, “Kunci mana nih, Pop? Tau gitu tadi kukantongin aja di celana,”
Poppy tidak menjawab. Ia sakit hati dengan sikap Hans yang dingin. Sembari masih mencari kunci, Poppy memikirkan kesalahan lain miliknya sebelum masalah kunci ini. Mungkinkah Hans sebetulnya sudah marah dari berangkat karena Poppy lupa pasang alarm dan baru bangun saat Hans sampai di rumah Poppy? Atau karena ketika Poppy diberikan tugas melihat peta digital, ia tidak sengaja memilih jalanan yang macet ketimbang yang lancar? Bisa jadi juga karena Poppy melontarkan kata ‘terserah’ berulang kali saat ditanya mau makan apa? Atau saat menonton, karena Poppy tertidur?
“Nih,” Poppy memberikan kunci mobilnya.
Diterimanya kunci mobil itu dan Hans langsung menggandeng tangan Poppy. Melanjutkan perjalanan mereka ke area parkir mobil mereka yang sialnya, mereka berdua sama-sama lupa dimana.
“Yakin di lantai yang ini?” tanya Poppy, memastikan.
“Yakin kok. Tadi di deket lift ada Avanza putih,” kata Hans.
“Ya Tuhan, Hans. Orang pake Avanza putih di mall ini banyak banget kali,” respon Poppy.
“Aku hapalin platnya,”
Poppy diam lagi. Ia seperti merasa kalah dalam perbincangan ini. Padahal seharusnya perbincangan bukanlah kompetisi.
“Tuh,” Poppy menunjuk HRV silver Hans.
Mereka masuk mobil. Hans menyalakan mesin. Poppy mengenakan seatbelt. Mereka sama-sama menarik napas panjang. Menyadari itu, mereka jadi menatap satu sama lain. Lalu tertawa.
“Capek ya?” tanya Hans.
Poppy mengangguk. “Sorry ya,”
Hans mendekatkan kepalanya ke wajah Poppy dan mengecup keningnya. Kalau memang percakapan tadi adalah sebuah perang, kini gencatan senjata sudah terjadi. Ditangkup wajah Poppy untuk beberapa saat. Saat Poppy tersenyum, isi kepala Hans sudah kemana-mana. Ada rasa bersyukur yang luar biasa dan ada rasa janggal pula karena ia tahu, ia akan mengatakan sesuatu yang mungkin akan membuat Poppy dingin.
“Udahan yuk,” kata Hans.
“Gak lucu ah bercandanya…” Poppy semakin lesu.
“Kamu gak bosen apa kita begini melulu? Ya bagus sih udah sama-sama nyaman, tapi — “
“Kalo emang itu mau lo, gue pulang naik taksi aja, Hans,”
“Ya Tuhan, Poppy. Gak gitu. Aku seharian ini kepikiran sama kita ini. Mama sih,”
“Kenapa Mama?” tanya Poppy.
“Biasa sih. Abis pulang dari nikahan pagi gitu, terus nyinggung. Nanyain aku kapan, aku kapan, begitu,”
Poppy membisu. Ada satu hal dari dirinya yang ia tahu memperlambat keberlanjutan hubungan mereka. Sejujurnya Poppy tidak ingin menikah sebelum ia menyelesaikan studi masternya yang masih setahun lagi. Padahal Poppy dan Hans sudah berpacaran lebih dari tiga tahun. Rasanya sudah pantas untuk mereka menikah, namun Poppy memiliki prinsip tersendiri yang Hans sanggup hormati, sampai tadi pagi setidaknya.
“Kan kamu tau…” kata Poppy.
“Justru karena aku tau, Pop. Aku sih sanggup nunggu kamu setahun lagi. Tapi yang aku pusing tuh setahun masih ada kurang lebih 52 minggu yang artinya 104 weekend yang ya mungkin 40%-nya Mama diundang dateng ke nikahan siapa kek. Berapa tuh?” tanya Hans.
“Ya… 40-an wedding lagi. Belum lagi kalo ada nikahan yang siang sama malem,”
“Itu dia,“ kata Hans.
Ia mengambil napas panjang. Bagian dari dirinya memahami keinginan Poppy dengan logika utuh, tapi ada pula bagian dari dirinya yang menginginkan Poppy untuk lebih berkompromi. Tak jarang mereka bertengkar masalah ini. Ditambah lagi Hans anak sulung dan adiknya juga hampir sempat melangkahinya. Lagi-lagi, Hans sebetulnya tidak apa-apa, tapi orang tuanya yang menjadikan itu persoalan. Untungnya untuk Hans, adiknya tidak jadi menikah karena ternyata tunangannya terlilit hutang. Dibatalkanlah pernikahan itu. Bagi Hans, Poppy sudah tepat untuknya. Ia rela menunggu. Berkali-kali bertengkar seperti ini, biasanya Poppy hanya diam atau menjawab “Kan kamu tau…”. Kata-kata itu sudah seperti titik dalam sebuah cerita.
Hans mengenakan seatbelt-nya. Setelah itu tangannya hendak menyalakan radio, ia tahu ini akan menjadi perjalanan yang panjang. Namun, tangannya digenggam Poppy sebelum ia bisa menyalakan radio.
“Yaudah, nanti kamu ikut turun pas anter aku ke rumah,” ujar Poppy.
“Ngapain?” tanya Hans.
“Ya lamar aku,” jawab Poppy.
“Lah, kan masih taun depan kamu lulusnya,”
“Ya justru. Nanti kamu turun, minta ijin sama Ayah sama Ibu mau ngelamar aku. Bilang aja gapapa kalau harus tunangan dulu. Mereka kan tau juga maunya aku gimana,”
“Aku gak ada beli cincin atau apa ini, Pop,”
Poppy melepaskan salah satu cincin yang ia kenakan dan memberikannya ke Hans.
“Ini, pake aja dulu. Mereka gak tau aku beli cincin ini. Baru banget tiga hari yang lalu,”
Hans menganga. Ini adalah hal ter-plot twist dalam hidupnya. Ia tidak pernah menyangka Poppy akhirnya berkompromi setelah puluhan kali mereka bertengkar perkara nikah. Masih ia pegangi cincin Poppy itu.
“Loh, ayo,” kata Poppy.
Hans menyalakan mesin mobil. Poppy memukul paha Hans.
“Bukan ayo jalan dong, Sayang. Ayo lamar aku,” kata Poppy.
Hans tertawa terbahak-bahak. Aneh sekali mendengar Poppy manja seperti itu. Jarang sekali Poppy memanggil Hans dengan kata-kata sayang. Dipegang pipi Poppy dan ia ucapkan sekali lagi,
“Udahan yuk,”
Poppy tertawa. Tawanya diculik Hans yang mendadak mendekatkan wajahnya pada Poppy, mengunci bibirnya di antara bibirnya. Kemudian terdengar klakson di parkiran. Mereka berdua kaget bukan main dan tertawa.
Hans menyalakan mesin mobil. Sembari jalan keluar parkiran, obrolan mereka masih berlanjut. Poppy memberikan Hans pemanasan supaya nanti tidak banyak ditanya oleh kedua orang tuanya. Seperti mengapa tiba-tiba? Akan nikah kapan? dan pertanyaan lainnya.
“Nanti pokoknya kamu jelasin aja kerjaan kamu sekarang di kantor gimana, terus cerita juga lah mimpi kamu gimana, mau nyusul lanjut S2 atau mau kerja aja, terus ya kamu bilang deh kamu mau ngapain sama aku,” kata Poppy.
“Mau ngapain?” tanya Hans, sembari meletakkan satu tangannya di paha Poppy dan matanya jahil luar biasa.
“Heh! Mau ngelamar! Bukan yang ini!” amuk Poppy bercanda.
“Yang ini nanti aja ya?” tanya Hans masih dengan matanya yang jahil.
“Terserah,” jawab Poppy.
“Ini baru terserah yang aku suka,” kata Hans.