–Untuk H & H
Belakangan ini, ada percakapan yang terus terulang: Apa mall yang paling disukai di Jakarta? Banyak di antara kawanku menjawab Pondok Indah Mall — juga divalidasi oleh jawaban lingkaran sosial kawanku yang lain. “Nostalgia”, begitu alasannya.
Kemarin, aku menapaki ubin-ubin Pondok Indah Mall. Isi gedungnya bagaikan kuburan hidup. Pada toko-toko yang telah berubah, aku melihat kenangan yang sudah terkubur. Kemudian aku teringat pada pertanyaan kawanku yang lain, “Apakah kamu punya memori fotografik?”. Mengingat hal itu aku memutuskan untuk menggambar hantu-hantu itu dengan huruf-huruf ini.
1. Outback Steakhouse
Ayah pernah mengaku kalau steak dan salad di restoran ini rasanya mirip dengan masakan ibu. Maka, ketika ibu juga mengaku kalau ia sedang malas memasak, ayah akan mengajak kami ke sana. Ibuku tidak pernah suka rasa makan masakannya sendiri. Namun, di restoran ini, ia mau makan–bahkan jatuh cinta. Ia menggemari roti tawar yang dihidangkan sebelum pesanan kami sesungguhnya disajikan. Warna roti itu cokelat, disertai dengan mentega yang diletakkan dalam mangkuk kecil berwarna putih. Roti itu tidak akan kita temukan di dalam menu. Ia hanya diberikan pada pengunjung yang makan di tempat. Ada kalanya ibu mampir ke sana dan memesan selayaknya ingin makan di tempat. Ketika sang roti serta makanannya terhidang, ia akan meminta pegawai restoran itu untuk membungkus makanannya. Setibanya di rumah, ia akan mengetuk pintu kamarku, mengangkat kresek putih berisi roti itu sambil tersenyum lebar.
2. Maqui’s
Ibuku bukan perempuan yang banyak ingin coba makanan ini itu. Begitu lidahnya sudah jatuh pada rasa yang pas, ia akan begitu setia. Salah satu tempat yang tak pernah lupa untuk ia mampiri adalah Maqui’s. Sebelum lanjut belanja buku, ibu akan memilih setidaknya tiga puding karamel untuk dibawa pulang. Berkali-kali juga aku menjadi pencuri puding karamel itu di rumah.
3. Kinokuniya
Aku pernah terpincut laki-laki yang terobsesi dengan Star Wars. Toko buku ini merupakan salah satu tempat yang koleksi bukunya bervariatif dan memiliki beberapa edisi spesial pembahasan film tersebut. Sesekali aku colongan mencari buku yang plastiknya terbuka untuk kubaca dengan seksama. Pada waktu yang sama, ibuku akan colongan mencari buku pola rajutan yang plastiknya terbuka juga. Seringnya, kami justru belanja kertas binder dan pulpen produk Jepang. Ayah tidak pernah paham kenapa kami berdua menggilai kualitas kertas dan alat tulis dari Jepang. Menurutnya, sama aja ah.
4. Area 51
Tempat ini adalah tempat perpisahan. Selepas makan, ibu akan pergi keluar dan membakar puntung rokok. Aku dan ayah akan tetap di dalam. Selain itu, di sini juga aku mengenali kebiasaan baru kawan-kawanku. Mereka yang mulai terbiasa membakar dan mengisap batang akan makan di luar, membiarkan aku dan beberapa kawan lainnya makan di dalam. Suatu saat, kami hanya tersisa bertiga makan di dalam. Ada aku, si laki-laki itu, dan salah satu kawanku. Kami memesan Yoshinoya. Kawanku menyaksikan pertama kalinya laki-laki itu memasukkan segumpal nasi serta daging ke dalam mulutku menggunakan sepasang batang sumpit. Aku menganga. Tersipu.
5. Nanny’s Pavillon
Waktu itu aku pergi bersama seorang anggota keluarga selain kedua orang tuaku. Ketika ia masuk ke restoran ini, awalnya kukira kami akan duduk di area dalam. Ia menggandengku hingga bagian pintu pemisah area dalam dan luar restoran. Sebelum sempat bertanya apa pun, ia merogoh jawabannya dari dalam tas dan diletakkan di atas meja. “Jangan bilang Ayah sama Ibu,”, ucapnya sambil membakar puntung rokok. Akhirnya aku setuju-setuju saja. Mungkin karena setelah hidangan kami habis, ia merogoh sesuatu lagi dari dalam tasnya dan memberikan sebuah kartu pada pegawai restoran itu. Kami masuk lagi dan ia kembali menggandengku.
6. Timezone
Ketika tempat bermain ini masih ada di sana, aku bukan orang yang nyaman dengan kontak fisik. Salah satu hal yang bisa kuterima adalah tos dengan orang lain. Aku dan laki-laki itu sempat mencoba beberapa permainan. Pada satu permainan yang kami menangkan bersama, ia mengangkat tangannya sebagai isyarat agar aku menepuknya. Ketika telapak tangan kami menempel, ia melekukkan jari-jarinya dan menyimpan kepalanku dalam genggamannya. Sepanjang sore itu, kami bergandengan.
7. Kidz Station
Aku dan laki-laki itu berkeliling di toko ini. Ada deretan boneka Doraemon yang menarik perhatianku. Untuk beberapa saat, kami berhenti di depan kucing-kucing itu dan aku memandangi mereka dengan mata penuh harap. Sepertinya laki-laki itu menangkap inginku. Kemudian ia bilang, “Nanti ya.”.
8. Gramedia
Toko buku ini adalah tempat paling wajib untuk aku kunjungi ketika datang ke Pondok Indah Mall. Seringnya, aku mendatangi lorong buku fiksi dan puisi. Selagi ibuku sibuk melihat buku-buku tentang Excel dan lagi-lagi mencoba pulpen Jepang, laki-laki itu pernah menghampiriku. Ia ikut menemaniku membolak-balik buku untuk kucatat nama-nama penerbitnya. Suatu waktu, aku termenung di depan rak tersebut dan laki-laki itu menangkap inginku. Kemudian ia bilang, “Nanti ya.”.
9. Pronto
Wajah laki-laki itu merah dan matanya basah. Kemudian ia setengah berlari keluar dari restoran ini untuk memeluk orang lain dan runtuh. Aku mematung sejadi-jadinya di tengah banyak orang pada pertengahan tahun itu. Ayah, ibu, dan kawan-kawanku yang lain berusaha mengalihkan perhatianku, tapi pandanganku beku pada laki-laki itu. Hingga hari ini, aku tidak sepenuhnya mengerti kenapa bukan pada pelukanku saja ia meruntuhkan diri?
10. O Coffee Club
Pada pertengahan tahun yang lain, ayah dan ibu membawaku ke sebuah restoran yang jarang kita datangi. Dari kejauhan, aku bisa melihat ada sekumpulan wajah kawan-kawanku. Ternyata itu memang ulah kedua orang tuaku. Pada siang itu, aku dan kawan-kawanku banyak berbincang. Di antara perbincangan, seorang kawan memberikanku buku catatan yang ia bawa dari Jepang. Ibu meraba-raba kertas buku catatan baruku di sampingku. Laki-laki itu menghampiri kami dan melemparkan sebuah kipas yang ia bawa dari Jepang juga. Sepertinya aku mengucapkan terima kasih. Perhatian ibuku teralih. Selain menggilai alat tulis dari Jepang, ibu juga kolektor kipas. “Boleh buat ibu?”, ia bertanya. Aku mengangguk sambil masih mengunci pandanganku pada mata laki-laki itu sembari menebak-nebak isi hatinya yang sepertinya sudah tidak di sini.
12. Fish and Co
Aku pernah kehilangan nafsu makan ketika hendak makan di restoran ini. Sebelum masuk, ayah membolak-balik menu di depan. Aku belum memperhatikan menu, melainkan teralih ke arah seorang laki-laki yang mengenakan flanel hitam bergaris abu-abu. Laki-laki itu duduk di antara banyak orang. Aku mematung lalu mengalihkan pandanganku ke menu. Kemudian ayah menoleh pada ibu untuk mendapatkan persetujuan. Ibuku menoleh padaku seakan-akan ia menawarkan jalan keluar. Aku menggeleng dan kami tidak jadi makan di sana.
13. Kidz Station (2)
Waktu itu aku pergi lagi dengan seorang anggota keluarga selain kedua orang tuaku. Ia menggandengku ke toko mainan ini. Kami berhenti di depan rak mainan Star Wars. Beberapa kali, ia mengambil mainan, melihat harganya, lalu meletakkannya kembali ke rak. Begitu terus hingga hampir setengah jam. Aku enggan berkeliling toko karena takut menyusuri ulang jejak yang pernah kulalui dengan laki-laki itu. Namun, memerhatikan tokoh-tokoh itu terlalu lama juga membuatku mual. Ketika akhirnya keputusan dibuat, ia mengambil dan memeluk mainan itu. Tangan yang ia gunakan untuk menggandengku tadi dilepaskan dari genggamanku.
14. Periplus
Aku berkeliling sendiri hari itu. Ibu melihat-lihat televisi, ayah antre beli kopi. Aku berniat untuk melihat koleksi terbaru di toko buku ini. Ketika hendak masuk, aku melihat laki-laki itu. Dengan cepat, kutundukkan kepalaku sambil setengah berharap ia tidak menyadari keberadaanku. Kemudian laki-laki itu berdiri di sampingku dan suaranya mengeja namaku. Aku tertangkap. Kami lanjut berbincang. Seorang kasir menghampirinya dan memberikannya selembar kertas. Ia memberikan laki-laki itu sebuah pulpen untuk menandatangani sebuah tanda terima. Sayangnya, tinta pulpen itu habis. Laki-laki itu melempar pandangannya ke arahku, mengernyitkan alis, dan mengangkat tangan untuk membuat gestur menekan ujung pulpen. Telanjur terbiasa, aku bisa dengan akurat membaca maksud laki-laki itu. Kuambil pulpen yang selalu kubawa di dalam tas dan kuberikan padanya. Setelah menandatangani bukti tanda terima dengan pulpenku, laki-laki itu mengembalikannya sambil berkata: “Aku masih ingat.”
15. Muji
Ayah akhirnya mengerti kenapa aku dan ibu menggilai alat tulis dari Jepang. Ia ikut mencoba menggunakan pulpen-pulpen dari toko ini dan keliling untuk melihat perintilan lainnya. Aku mengambil sebuah buku kalender kosongan dan membawanya ke ibu. “Kamu mau?” tanyanya. Setelah aku mengangguk, ia memasukkan buku kalender kosongan itu ke dalam keranjang yang dijinjing. Ayah kembali dan membawa beberapa kotak yang dirasa pas untuk obat-obatnya. Lalu kami mengantre. Ayah mengeluarkan kartu dan memberikannya pada kasir. Ibu memiringkan kepalanya pada pundak ayah, kemudian ayah mendaratkan bibirnya pada pucuk kepala ibu.
Aslinya, ada banyak memori fotografik lain yang berdatangan padaku ketika aku mulai menulis ini. Perasaan nostalgia menggerayangiku. Jika kutulis semua, kuyakin kamu akan terlalu tahu banyak tentangku–dan aku tidak ingin itu terjadi, setidaknya untuk saat ini.
Sekarang, biarkan aku mengirimkan doa untuk hantu-hantu yang ada di tempat itu. Biarlah toko-toko baru mengubur kenangan dari toko lama. Memori tersebut terjadi dan pernah hidup. Ini upayaku untuk memahatnya pada batu nisan yang lebih abadi daripada ingatanku yang mungkin kabur. Pun, kamu tidak bisa seutuhnya percaya pada kebenaran tulisan ini. Layaknya sosok-sosok yang telah pergi, setiap orang yang mengalami kebersamaan bersama sosok-sosok tersebut pasti punya ceritanya masing-masing.
Baris-baris nisan ini cerita milikku. Jika kamu menemukan baris-baris lain tentang cerita ini, maka masih ada kemungkinan cerita itu tetap benar dan aku tak akan sepenuhnya mengelak.