Sitemap

Arsip Memori: John Mayer, Jakarta, 2019

2 min readMay 23, 2025

--

Bertahun-tahun aku menunggu John Mayer untuk sambang ke Indonesia. Begitu pula ibuku. Sejak tahun 2010, kami sudah tahu kalau sama-sama ingin menonton laki-laki libra itu.

Suatu malam, ibu menyetel videonya sedang memainkan lagu Human Nature di acara ‘Tribute to Michael Jackson’. Aku menggeret kursi belajarku ke meja kerja ibuku. Kami sama-sama menyaksikan penampilannya.

Setelah menonton video itu, kamu tahu kalau kami sama-sama menanti. Maka, saat ada pengumuman musisi pemenang Grammy itu akan mampir untuk tur, aku tak berpikir panjang. Kuhampiri ruang kerja ibu sambil berteriak, “John Mayer mau ke sini!”

Singkat cerita kami membeli tiket dan tiba di ICE BSD.Dari area berkursi, bagian festival belakang terlihat cukup lengang. Ibu pun berkomentar, “Tau gitu kita festival aja ya.”. Aku hanya tersenyum — khawatir ia (baca: kami) akan koyoan besok jika menonton di area festival.

John Mayer muncul. Aku menepuk-nepuk paha ibu. Tangannya pun meremas tanganku. Kami seperti kembali ke ruang kerja ibu malam hari. Ibu dengan Microsoft Excel-nya, aku dengan Pet Society-ku, diiringi oleh album Battle Studies.

Satu lagu, dua lagu, dan seterusnya. Aku bernyanyi, menepuk-nepuk pundak ibu, ia tersenyum, aku menjatuhkan kepalaku pada pundaknya. Malam itu rasanya benar-benar milik kami berdua.

Bandana or no bandana?” ujar si Libra dari atas panggung. Apa pun jawaban dan keputusannya, kami tetap akan menerima.

Ibu sama sekali tidak memarahiku ketika jelas-jelas aku berteriak bahasa yang kasar.

Satu lagu lagi dan seterusnya.

Sejak album “Paradise Valley” rilis, aku selalu berangan-angan bisa mendengarkan ‘Dear Marie’ secara langsung. Mustahil, pikirku. Lagu itu bahkan tidak dijadikan single. Jadi, saat intro lagu itu dimainkan, aku membeku. Perlahan-lahan, mataku mencairkan air yang selama ini mungkin tak bisa jatuh. Sepanjang lagu, aku menangis. Ibu membiarkanku dalam kesedihan itu.

“Well I got my dream and you got a family”

Di antara riuh tepuk tangan dan teriakan usai ‘Dear Marie’, aku menoleh pada ibu.

“Bu, lagu aku.”

Ia tersenyum dan menyambung senyumannya dengan candaan.

“Ah, lagu kamu mah ‘Perfectly Lonely’”

Aku tertawa. Ibu memang sering menertawakan kelajanganku — bahkan hingga saat ini. Dia adalah salah satu dari beberapa orang yang kuberikan kebebasan meledekku perihal ini.

Sisa malam itu, kami masih lanjut bernyanyi. Dan ketika lampu kembali menyala, kami masih duduk di kursi — enggan bangun dari mimpi yang sudah lama jadi angan-angan. Ibu menggenggam tanganku. Aku meletakkan kepalaku di pundaknya. Kami mengambil napas yang amat panjang sebelum bangkit dan kembali pada dunia nyata.

--

--

Firnita
Firnita

Written by Firnita

usually, i write more than this short bio. say hi through my ig/x/tiktok: @firnnita

Responses (1)