Agustus 2025
Awal tahun kemarin, aku dan kawan-kawanku makan anggur di bawah meja. Aku jadi orang ke delapan yang berhasil menghabiskan anggur itu. Menurut asbunisme salah satu kawanku, di bulan ke delapan lah aku akan memiliki hubungan romantis lagi. Spoiler alert: ramalan itu salah. Satu-satunya hal yang mendekati itu hanyalah aku mengalami satu meet cute. Selain itu, Agustus jadi bulan yang for the vibe sebelum di minggu terakhir ia berubah jadi gelap.
Di luar ramalan kawanku, Agustus memang jadi bulan yang kunantikan. Ada dua (harusnya tiga) agenda pergi ke luar kota. Yang pertama, pernikahan saudara di Bandung. Yang kedua, jalan-jalan keluarga ke Semarang. Yang ketiga, harusnya ke Surabaya. Bandung memberikan sensasi yang aneh. Ia seperti kota yang pernah kukenal dengan baik tapi aku rasanya sulit mengingat hal-hal kecil tentangnya. Seperti di mana letak belokan satu arah ke Ayam Aep Merdeka, atau gedung Gramedia seberang Bandung Indah Plaza, serta sepanjang jalan Asia Afrika dan lapak buku tebak-tebakan jadul yang kertasnya abu-abu itu. Bahkan hotel Grand Aquila yang dulunya berwarna kuning, sekarang sudah berubah nama dan warna pula. Sudah ada bahasan tentang ini di draf-ku. Akan kuselesaikan bulan September — semoga. Semarang jadi kota yang menarik. Ia membawakan ibuku memori lama tentang masa kecilnya. Kami jalan-jalan ke sekolahnya. Sepanjang jalan itu, aku juga membayangkan ibuku versi kecil jalan kaki pulang sekolah atau kabur dari rumah karena takut dimarahi oma. Surabaya jadi kota yang tertunda. Padahal aku sudah menyempatkan laporan ke kawan-kawanku yang lahir dan pernah tinggal di sana.
Yang spontan tentang Agustus adalah menghadiri kontes performative male dan penampilan Barasuara. Keduanya memberikan perasaan yang unik — yang bahkan sampai sekarang masih kuproses pula.
Aku juga keluar dari zona nyamanku bulan lalu. Si perempuan penakut ini dengan sukarela menonton film horor — jadi film yang paling berkesan di bulan lalu. Ternyata kunci dari menonton film horor memang jangan sendirian. Setelah nobar Weapons, di bulan yang sama ada nobar The Materialists. Yang ternyata seru, tapi preferensiku tetap Past Lives.
Barusan aku habis melihat ulang archive IG story di bulan lalu. Ternyata ada banyak kegiatan yang lebih menarik dibanding biasanya: ke Tomoland dan borong produk Sineklab, photobooth dengan frame Dalam Dinamika, baca puisi di Salihara, menonton Monolog Gaza dan penampilan Sukatani, karaokean, dan ikutan Trivia Night.
Pada hari kemerdekaan, aku mencari alasan untuk tetap merasa bangga dengan tempat kelahiranku ini. Ternyata secara instan dijawab saat Trivia Night. Kami menang! Babak pertama isinya melanjutkan lirik-lirik lagu Bahasa Indonesia. Kelompokku isinya si anak Dahsyat, Inbox, dan Stafaband semua. Jadilah dari 10 soal, kami berhasil menjawab 9. Babak selanjutnya ada pengetahuan umum tentang Indonesia. Kelompokku sempat full-score 10. Yang unik dari sesi ini adalah kehadiran kelompok yang asalnya bukan dari Indonesia — dan betapa gigih-nya mereka mencari segala cara untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang Indonesia-sentris itu. 17 Agustus 2025 jadi hari yang menyenangkan untuk kukenang — walaupun memang tetap ada-ada saja ulah warga negara ini.
Minggu terakhir Agustus jadi badai yang berat. Tentunya setelah rentetan peristiwa ulah warga negara ini, ada lagi yang membuat emosi membludak. Seminggu terakhir Agustus menunjukkan dan mengajarkanku banyak hal. Ini bisa jadi satu tulisan sendiri sejujurnya. Tapi untuk sekarang, biarlah kututup dulu tulisan ini.
Semoga masih ada warna cerah di hari-hari kita ke depannya. Semoga masih ada tangan yang bisa kita raih untuk tetap berjalan dan berjuang bersama. Semoga kita selalu dijaga — setidaknya oleh sesama kawan.
Beberapa hal yang berkesan di bulan ini:
- Lagu: Aku Ada Untukmu oleh Perunggu
- Film: Weapons karya Zach Cregger
- Serial: Long Story Short
- Buku: Blue Period karya Tsubasa Yamaguchi
