Ibumu benar-benar berangkat kerja ternyata. Dan ia tak pakai masker. Padahal batuk-batuk. Barusan ambil tempe di meja makan tanpa cuci tangan.
Kau saja yang tidak melihat ia cuci tangan. Mungkin juga hari ini ia masuk kantor untuk beberes supaya besok ia tak perlu lagi berangkat. Bawa berkas pulang. Bawa barang pulang.
Kalau memang iya, kenapa tidak dari kemarin-kemarin? Kenapa harus menunggu kau mendiamkan dia dua hari, tidak banyak omong. Hanya pamit pagi, dan halo pulang kantor. Kata-kata yang keluar dari mulutmu juga cuma menyuruhnya mandi.
Bosnya sibuk sepertinya. Lupa baca berita. Atau sebuta itu terhadap berita. Atau ya sebuta itu terhadap kemanusiaan. Yang penting cuan, cuan, dan cuan. Ini baik juga sebetulnya. Biar Ibu tetap mau memberikanmu uang lebih untuk beli buku lagi.
Aku percaya sih dengan Ibu. Yang aku tak percaya itu, orang di sekitarnya. Rekan kerjanya yang naik motor: beli gorengan, kemarin kehujanan, helm setengah basah. Atau rekan kerjanya yang turun dari KRL tersandung, jatuh dan menapakkan tangannya di konblok. Atau bosnya yang belum cuci mobil satu bulan dan gagang pintunya jadi tidak bersih. Atau kliennya, yang habis dari toilet setelah cuci tangan tidak dikeringkan.
Ibumu sudah besar. Pun kau. Ia tahu mana yang baik untuknya, mana yang kurang. Hal yang baik adalah bekerja. Kalau ia tidak bekerja, bisa jadi ia pusing di rumah. Ia pusing di rumah, ia menggubris pekerjaanmu. Bertanya ini itu. Gali-gali cerita lama yang tak lagi ingin kau bahas.
Ya justru karena sudah terlalu besar ia tak mendengarkan kau. Tahu apa sih kau? Anaknya yang digit umurnya setengah dari umurnya.
Kau tahu banyak. Kau tahu bahwa ibu bekerja untuk fungsional rumah juga. Listrik, air, koran, beras, dan wi-fi tentunya. Memang kau sudah bisa bayar itu semua? Kau juga tahu lewat bekerja itu, ibu bisa napas dari rumah yang sepi karena ayah yang tidur melulu dan kau yang sibuk skripsi.
Ya sih…
Sudah?
Sudah.